Kami Belum Merdeka

Matahari bersinar terik di atas kota Jogja siang itu. Aku duduk di salah satu sisi bangku panjang yang sengaja diletakkan di depan Mirota Batik agar para pengunjung salah satu toko ‘most visited’ di jalan Malioboro itu dapat melepas lelah.

Aku memang cukup beruntung karena dinilai memiliki kemampuan lebih di mata pelajaran Ekonomi dan Akuntansi, sehingga aku ditunjuk sekolahku untuk mengikuti lomba Ekonomi Akuntansi di salah satu universitas di Jogja. Aku beruntung karena bisa jalan-jalan gratis ke Jogja-kota yang sudah lama ingin kukunjungi setelah aku membaca novel dan jurnal-jurnal yang berlatar belakang kota budaya ini. Tapi keinginanku baru terkabul sekarang karena selain sibuk sekolah, orang tuaku pun bukan orang kaya yang bisa memberiku sejumlah uang dengan gampangnya untuk kupakai foya-foya dan liburan ke Jogja.

“Nggak belanja, Yo?” tanya Ricky, teman satu timku yang baru keluar dari Mirota Batik sambil menenteng beberapa kantong belanjaan.


“Nggak ah, entar-entar aja. Kita di Jogja masih ada dua hari kan?” kataku.


Seorang pengamen menghampiri kami berdua sambil bernyanyi-nyanyi. Hatiku yang sedang kesal bertambah kesal karena kehadiran si pengamen dengan suara cemprengnya.


“Nggak punya uang kecil, Mas,” jawab Ricky sambil menyenderkan punggungnya di sandaran kursi, dan berpura-pura sibuk dengan HP miliknya.


“Astaga…” si pengamen berkata dengan data sedramatisir mungkin, membuatku semakin kesal. Memangnya kenapa kalau nggak mau ngasih? Kalau Mas nggak punya duit apa kami memiliki kewajiban untuk memberi Mas makan? Badan masih segar bugar gitu kok ya nggak cari kerja aja? Jadi kuli kek apa. Lagian apa itu? Tatoan dimana-mana. Kalo ada duit buat tatoan kenapa nggak dipake buat beli makan aja?


Beberapa detik berlalu, kupikir si pengamen sudah pergi. Tapi saat aku berbalik kearah Ricky, ternyata pengamen itu masih menatapnya dengan tatapan yang sulit kuartikan.


“Tahu nggak Mas? Pas jamannya Pak Soeharto, Mas dan Mas,” si pengamen menunjukku. “Mas-mas tuh nggak boleh tinggal di sini!” OK, aku mengerti arah pembicaraan pengamen sontoloyo itu. Maksudnya kami Cina?! Jadi?! “Mas sudah dikasihani kok ya nggak mau bantuin orang-orang-”


Aku membanting bukuku dengan geram ke lantai.


“Maksud Mas Cina? Iya, kami Cina, lalu kenapa? Salah kami kalo mas miskin? Mas, orang-orang semodel Mas, yang suka mendiskriminasikan kelompok-kelompok tertentu tuh yang bikin Indonesia hancur! Bukannya orang Cina kaya kami! Kalo ngomong tuh jangan sok tahu kalo emang nggak tahu!”


Aku dan Ricky pergi meninggalkan pengamen yang tidak tahu diri itu sambil membatin kesal. Indonesia sudah enam puluhan tahun merdeka, tapi mental segelintir masyarakatnya masih belum merdeka. Sungguh menyakitkan.


*masuk nominasi 88 flash fiction terbaik flash fiction competition by FSBP *

Komentar

Postingan Populer