Mengejar Sunset di Banda
“Precill, bangun. Sudah jam 3,” Regina
meneriakiku.
Aku membuka mata, mendapati
Regina sibuk mengemasi tas. Dan baru nyadar, aku sudah terlelap lumayan lama.
Dengan baju yang sama dengan baju yang siang tadi aku pakai jalan, dan posisi
tidurku rapih, lho. Telentang cantik. Iya, tadi begitu sampai di homestay lagi,
aku langsung masuk kamar, pingsan. Aku hanya sempat berpesan minta dibangunin
jam 15.00 karena mau jalan-jalan, dan bahkan nggak ganti baju. Teorinya, baju
nggak akan kusut kalo aku nggak pakai posisi aneh-aneh waktu tidur. Iya nggak,
sih?
“Re, Cil, ayo siap-siap,”
Aku langsung loncat dari
tempat tidur, buru-buru ke kamar mandi buat cuci muka. Mungkin jiwa karyawanku masih
melekat banget. Denger suara “komandan” manggil, langsung panik. Regina sudah
siap dan keluar kamar.
Cuaca sore itu terasa lebih
“manusiawi”, sejuk. Nggak seterik siang tadi.
“Kau bisa bawa motor, toh?”
Kak Syaiful menyerahkan kunci motor ke Regina.
Akhir bulan Maret kemarin,
aku iseng main ke Pekalongan. Aku sudah merasakan dibonceng Regina keliling
Pekalongan dan ngerasaian berlomba dengan truk-truk gede dan jalan raya yang
bikin pantat sakit. Oke, di sini pun, dia bakal jadi ojek. Aku duduk manis di boncengan.
Kak Syaiful dan Bang Memet menggunakan motor lain di depan, dan aku serta
Regina membuntuti dari belakang.
Aku pikir jalan yang akan
kami lalui kalem-kalem saja. Tapi kenyataannya, jalan yang kata Kak Syaiful
“jalannya nanjak dikit” berhasil bikin aku berdoa khusyuk dalam hati waktu
Regina ngegas pol motor menaiki tanjakan curam. Pemirsa, ini bukan nanjak
dikit. Dan aku refleks mau tepuk tangan waktu aku dan Regina berhasil naik
tanjakan. Punya teman kok ya bakat banget jadi driver ojek.
Tiba di kaki tanjakan yang
kelihatannya lebih curam, akhirnya aku gantian dibonceng Bang Memet, dan Regina
dibonceng Kak Syaiful. Takut Regina khilaf liat kupu-kupu dan kaget,
nyungsepnya langsung ke jurang.
Sepanjang perjalanan, Bang
Memet menceritakan padaku gimana Banda yang menjadi tempat pembuangan para
tokoh penting bangsa seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, justru punya
“wajah” yang tidak sama seperti bayanganku akan sebuah tempat buangan. Di sini,
bahkan Mohammad Hatta merumuskan gagasan pasal 33 UUD, tentang tanah dan sumber
daya yang menguasai hajat hidup orang banyak dimiliki negara. Gimana mereka
yang terbuang di tanah ini, justru tetap merasa merdeka dalam pikirannya.
Kalau di salah satu lagu
masa kecil ada lirik, “Kiri kanan, kuihat saja, banyak pohon cemara,” mungkin
aku bisa bertingkah hiperaktif dengan nyanyi-nyanyi “Kiri kanan, kulihat banyak
pohon pala dan kayu manis,” sambil kedua tanganku direntangkan, dan rambutku
berkibar-kibar ala video klip. Dan aku dibonceng Bang Memet. Sip, kan?
Kami tiba di Pantai Malole,
namun hanya singgah sebentar, dan langsung jalan lagi ke Pantai Samandeba. Suasana
Pantai Samandeba lebih tenang. Pasirnya berwarna hitam, namun airnya sangat bening.
Kenapa hitam? Soalnya pasir di sana adalah muntahan dari letusan Gunung Api
Banda dulu. Sementara aku sibuk lari sana-sini di air, Regina mainan dengan
kelomang.
Di Pantai Samandeba |
“Ayo, kita naik Mercusuar,”
Kak Syaiful berdiri, dan aku – Regina segera berkemas.
Nggak ada yang istimewa sih
dengan Mercusuar Lautaka. Kami hanya perlu berjalan menanjak dulu sampai
ngos-ngosan sekitar 15 menit, dan begitu sampai di mercusuar, kami mendapati tangganya
sudah dicabut. Tapi karena Precill kepo-nya kebangetan, penasaran pengen lihat
Banda dari atas 15 meter, tahu yang aku lakukan? Manjat. Iya, manjat sekitar 4
meter, dari tanah sampai aku bisa nemu tangga yang tersambung lagi.
Aku ditemani Kak Syaiful naik
ke atas mercusuar, sementara Regina memilih duduk cantik di bawah, bersama Bang
Memet yang bakarin rumput biar nyamuk-nyamuk pergi. Manjat 4 meter itu nggak
gampang. Berulang kali aku terpeleset karena sandal yang kupakai memang sandal
jalan ke mall. Akhirnya aku melepas sandal, dan berusaha gelantungan manjat.
Lebih sulit lagi karena postur tubuhku nggak tinggi. Buat meraih pegangan
besi-besi di atas, aku mesti merayap dan mengangkat diriku sendiri.
Manjat mercusuar dari bawah -_-" |
“Gila... aku kok punya temen
gila sih?” jerit Regina melihatku yang berulang kali kelihatan oleng di atas.
Aku sendiri beberapa kali
menertawai diriku. Ini aku ngapain sih? Mungkin aku memang sudah gila.
Setelah beberapa menit heboh
itu, akhirnya aku dapat menyaksikan sinar matahari memantul di permukaan laut, sementara
Gunung Api berdiri menjulang di depanku. Masih ada tiga “tingkat” sebelum aku
mencapai puncak mercusuar, dan aku memutuskan untuk tidak melanjutkan. Khawatir
bakal gemetar di atas dan nggak mau turun. Kan ribet mesti digulingin dari
bawah.
Yang Cukup Iseng Manjatin Mercusuar Lautaka |
Diam beberapa saat di atas
mercusuar, tiba-tiba hatiku tergelitik untuk bertanya pada diriku sendiri, Kamu
pergi jauh-jauh, apa sih yang kamu cari? Aku sibuk mikir, iya juga, ya?
Yang aku cari mungkin,
sebuah cerita, sesederhana apa pun itu. Kepingan kenangan ketika berada di
tempat ini, memandangi pemandangan yang mungkin nggak bisa aku lihat lagi dalam
beberapa tahun ke depan.
Dalam perjalanan pulang dari
Mercusuar Lautaka, gantian aku boncengan sama Kak Syaiful. Kami agak
kebut-kebutan ngejar sunset. Eh, tapi sempat-sempatnya muterin landasan pacu
pesawat yang bisa diakses bebas, hahaha... Jadi ya, anak-anak bisa main futsal
di tengah lapangan, sementara motor kami melaju kencang. Langit mulai diwarnai
semburat jingga, memantul dari balik awan di sekitar gunung api.
Kami tiba di Benteng Belgica
ketika matahari mulai menghilang. Aku duduk di salah satu menara, dan foto ini
diambil. Menatap senja pertama di Banda. Yang setelah aku sadari, ada pelangi
di sebelah kiri gunung. Can you spot it? Hei, aku tahu. Inikah ucapan selamat
datang untukku dan Regina? Iya, kami akhirnya datang.
“Re, kok lari sih?” Kak
Syaiful meneriaki Regina yang hampir terbirit-birit keluar gerbang benteng.
“Nggak papa! Ayo buruan!”
jawabnya tanpa menoleh.
Aku berjalan santai di
belakang, sementara Kak Syaiful masih mengambil beberapa gambar.
“Kalian ngelihat darah nggak
sih di sana?” tanya Regina begitu kami sudah keluar dari benteng.
Aku menggeleng.
“Itu tempat apaan Kak? Ada
yang pernah dibantai ya di sana?” tanya Regina lagi.
“Ya... namanya saja tempat
hukuman,” dan jawaban itu bikin Regina makin cepat ingin pulang.
Malam ini terasa sangat
berbeda. Aku duduk di teras, nyari sinyal. Dan beberapa malam kemudian,
kegiatan duduk di teras nyari sinyal menjadi rutinitas. Aku jadi terbiasa
memandang gerbang yang terbuka, pintu rumah yang juga terbuka, entah siapa saja
dapat duduk, menyapa, mengobrol. Dan tempat ini, sekali lagi, terasa seperti
rumah.
Aku ingat obrolan siang tadi
dengan Kak Syaiful, waktu aku minta difotoin di mural yang bertuliskan Welcome
to Banda Naira.
“Tahu nggak? Ada kutukan lho
buat orang yang datang ke sini,” katanya serius.
“Hah, apa?” tanyaku.
Sementara Regina sibuk bergaya di depan mural.
Kak Syaiful mengarahkan
kamera ke arah Regina. Setelah selesai mengambil foto, ia melanjutkan,
“Siapa saja yang datang ke
sini, bakalan datang lagi untuk kedua kali. Karena siapa yang datang ke sini
sebagai tamu, akan pulang sebagai keluarga,” aku tertawa.
Dan dalam hati melanjutkan,
“Dan keluarga bukannya akan selalu pulang ke rumah?”
Aku nggak keberatan dengan
kutukan itu. Regina juga, mungkin.
Komentar