Jam Tangan
Aku mulai nggak bisa nggak makai jam tangan ketika SMA. Waktu itu aku
tinggal di asrama. Di kamar asramaku, nggak ada jam dinding. Akhirnya aku
terbiasa memakai jam tangan tiap saat, bahkan ketika tidur. Kenapa? Supaya
begitu aku membuka mata, aku bisa nyadar sudah jam berapa. Dan kebanyakan sih
ketika aku buka mata, aku bakal melonjak bangun bahkan sampai hampir jatuh dari
kasurku yang berada di tingkat dua. Nyaris telat. Aku memang bukan pecinta
bangun pagi, tapi aku orang yang sangat anti telat.
Kebiasaan pakai jam kemana-mana itu masih melekat sampai sekarang.
Mungkin ada yang terbiasa mengawali hari dengan teh. Seperti papaku yang bakal
uring-uringan kalau nggak mengawali hari dengan teh. Atau seorang perokok yang
nggak menghisap selinting rokok. Begitu pun aku, tanpa jam tangan. Pernah aku
ke kantor dengan sangat mepet, nyaris telat. Aku begitu panik sampai melupakan
jam tanganku. Seharian aku tetap nggak bisa menghiilangkan kebiasaan melirik
lengan kiriku, menyingkap lengan blazer, untuk megintip sudah jam berapa.
Seperti orang lupa pakai pakaian dalam. Ada yang beda.
Aku nggak punya banyak koleksi jam tangan. Bahkan sebenarnya, aku
nggak akan beli jam tangan baru sebelum jam tangan lamaku rusak. Ada satu jam
tangan milikku, yang aku miliki sejak jaman masih kuliah di Jakarta sampai
setahun kerja di Surabaya. Suatu hari aku jatuh dari motor, gara-gara kepeleset
waktu mau keluarin motor dari parkiran gerai toko retail dekat kosan. Aku
dibantuin mas-mas tukang parkir yang baru datang waktu aku berhasil ngejatuhin
motorku dan motor pelanggan lain. Aku sedih. Iya, sedih gara-gara tanganku
beset, gara-gara malu (dan aku hampir satu tahun nggak pernah mau ke sana lagi
gara-gara malu, sampai akhirnya tukang parkirnya ganti baru aku mau ke sana
lagi), dan paling sedih waktu nyadar kaca jam tanganku sudah menjadi
puing-puing di tanah.
Aku nggak punya jam tangan lagi setelah kejadian itu. Bukannya cekak,
kebetulan lagi banyak kerjaan di kantor sampai aku pulang agak malam. Giliran
akhir pekan, aku hibernasi nyaris seharian di kosan. Dan rencana nyari jam
tangan baru tertunda terus-terusan sampai ladang gandum berubah jadi coklat.
Akhirnya, waktu itu papaku datang dari Jayapura, main ke Surabaya buat
nengokin aku dan adikku masih hidup dan baik-baik saja atau nggak. Trus aku ditanyain
papa kok tumben nggak pakai jam tangan lagi. Dia hafal aku nggak bisa keluar
rumah tanpa jam tangan, karena tiap aku tinggal di Jayapura lebih milih
diteriakin dibanding keluar kamar sebelum menemukan jam tangan yang lupa aku
taruh di mana setelah mandi.
Ya aku ceritain. Rusak. Habis jatuh dari motor jam tangannya pecah.
Sudah, gitu saja.
Lalu besoknya, dia jemput aku dari kampus sore-sore. Trus ajak aku ke
mall. Beliin HP adikku. Waktu itu selang beberapa hari setelah Valetine. Lalu
dia nyeret aku ke toko jam tangan. Milih jam tangan, masangin di tanganku.
“Gimana, suka?”
I nod.
And he buy it for me.
“Yaa... ini hadiah Valentine dari papa,”
Dan sejak itu jam tangan hitam itu jadi sangat berkesan. Aku
kemana-mana pakai jam tangan itu. Entah sudah ke kota mana jalan-jalan, entah
sudah melewati hari sepenting apa pun, dengan jam tangan itu.
Bahkan, waktu aku naik ke Gunung Penanggungan pertama kali.
Satu kesalahan bodohku : Aku lupa jam tanganku tipe jam tangan cantik
buat jalan di mall atau ke kantor. Bukan mendaki gunung lewati lembah. Dan
secara nahas, jam tanganku kembali cacat, tergores. Aku tetap pakai jam tangan
itu, bahkan untuk ke gunung yang sama yang kedua kalinya. Dan mesinnya akhirnya
mati. Mungkin memang sudah takdirnya selesai bertugas di gunung itu.
Waktu itu aku sampai bela-belain ke Tunjungan Plaza, kirain Cuma
kehabisan batre. Aku ganti batre. Lalu iseng nanya, ganti kaca berapa harganya.
Dan lumayan sih harganya, hahahaha... Tapi si tante pemilik toko ngomong gini,
“Ini mesti dipecahin dulu tapi ya kacanya. Biar pas ngukurnya,”
Make sense, tapi ya... nggak tahu kenapa aku ngerasa patah hati denger
si jam mau digetok sampai kacanya pecah semua sih.
Akhirnya aku batalin ganti kaca. Biar batreinya saja yang diganti.
Setelah aku share cerita tentang ganti kaca ini, seorang teman
bertanya, “Lho, memangnya kenapa kalau dipecahin semua? Memangnya kamu mau
nyimpen kaca yang tergores itu?”
Dan itu menohokku. Kenapa aku nggak mau, ya?
Bukannya untuk menjadi lebih baik, kita harus rela digetok untuk mengambil
hal-hal buruk, dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik? Lagipula buat
apa menyimpan sesuatu yang memang nggak bisa diperbaiki?
Komentar