Sebatang Cokelat di Akhir Bulan
Aku suka banget sama cokelat. Sangat-sangat
suka cokelat. Aku jatuh cinta pada cokelat. Sayangnya, aku jatuh cinta pada
makanan yang harganya nggak murah. Biar pun suka cokelat, aku nggak gitu suka
sama cokelat yang terlalu manis dan mereknya nggak terlalu terkenal, yang
harganya relatif murah. Makanya, aku nggak bisa sering-sering makan cokelat.
Malam ini, hasrat makan cokelat itu datang
lagi. Sayangnya bulan ini nominal saldo di rekening tabunganku sangat-sangat
mengenaskan. Uang di dompet juga cuma cukup buat hidup beberapa hari lagi. Aku
mulai ngitung-ngitung. Duuh, kalo ke minimarket beli cokelat, nggak mungkin
habisnya cuma sepuluh ribu. Pasti lebih. Tapi bulan ini ada teman yang ulang
tahun dan mesti dibeliin kado, kalo nggak bakal ngerasa nggak enak.
Aku guling-guling. Aku garuk-garuk lantai.
Ok, aku pengen cokelat. Beberapa minggu ini aku udah berusaha nekan pengeluaran
jajanku, nilai ujian ekonomi mikro dan intermediate accounting-ku di atas
ekspektasi, jadi anggap saja ini hadiah buat diriku sendiri. Aku ambil jaket
dan pergi ke minimarket.
Pulang dari minimarket, aku buka bungkus
cokelat, lalu ngunyah cokelat pelan-pelan, ngerasa dunia sedikit lebih indah.
Haha, lebay sih, tapi berhasil mendapatkan apa yang kamu mau, itu rasanya pasti
memuaskan, dong?
Aku kunyah kunyah kunyah.
Dan cokelatnya habis.
Aku mandangin bungkus cokelat yang kosong.
Aku sedih.
Duitku sekarang sudah pindah ke perut.
Lalu, iseng aku mikir. Aku rela ngorbanin
sesuatu, dalam kasus aku uangku yang menjadi sangat berharga di akhir bulan
ini, demi kenikmatan nggak sampai sepuluh menit. Sebungkus cokelat yang
harganya di atas sepuluh ribu. Belum lagi kosku jauh dan mesti jalan kaki ke
minimarket pulang-pergi lima belas menit. Demi sebungkus cokelat yang setelah
sepuluh menit sudah nggak kerasa lagi. Kenapa?
Aku yakin bukan cuma aku orang yang rela
mengorbankan sesuatu yang berharga, demi sesuatu yang buat sebagian orang cuma
sesuatu yang sia-sia. Yang bisa dinikmati sebentar saja. Tapi, cokelat,
bukankah yang penting adalah kepuasannya? Reward yang kita berikan pada diri
sendiri? Dan karena cokelat itu akan habis, kita akan pengen lagi. Tapi
ngedapetinnya nggak gampang. Perlu usaha. Makanya cokelat itu menjadi berharga
karena pengorbananku.
Aku puntel-puntel bungkus cokelat berwarna
emas, aku masukkan ke dalam tempat sampah mini di sudut kamar.
Kalau hidup kita sering diibaratkan seperti
kepulan asap yang cuma bertahan sebentar, berarti momen-momen senang kita
ibarat cokelat yang hanya sepuluh menit habis itu, dong? Lebih singkat lagi.
Aku pikir, nggak ada salahnya membahagiakan diri sendiri, biar pun cuma sepuluh
menit. Cokelat hari ini udah bikin aku tersenyum, dan reward bagiku karena bisa
agak nggak boros dan dapat nilai ujian lumayan. Dan aku bakal ngasih diriku
hadiah lagi, biar pun itu sebatang cokelat yang sepuluh menit habis.
Komentar