When You Leave Me



Sebuah Avanza hitam meluncur di hadapanku. Entah Avanza yang keberapa, aku sendiri nggak peduli. Rok hitamku bergemerisik pelan, sementara area halte busway tempatku berada saat itu berderak-derak berisik karena kendaraan-kendaraan yang lewat dengan kecepatan tinggi. Sekali lagi, aku nggak peduli.

 “Iya sayang, ini masih nunggu busway. Kamu tunggu aku di tempat biasa ya? Sory telat,” seorang laki-laki seusiaku memasukkan handphonenya ke saku celana kembali dengan gelisah, sambil sesekali melirik jam tangannya.

“Sayang?” ulangku dalam hati.

Aku tersenyum hambar.

Busway yang kutunggu tiba. Seorang anak perempuan berkuncir kuda berlari-lari masuk ke dalam sana, diekori ibunya yang memanggil-manggil namanya karena khawatir. Cowok yang sejak tadi sibuk melirik jam tangannya buru-buru masuk, menyerobotku yang baru saja akan melangkahkan kaki masuk.

“Ladies first,” aku terngiang-ngiang ucapan dirinya yang akan membukakan pintu sambil tersenyum manis dan menggerakkan tangannya ala penyambut tamu di restoran bintang lima, mempersilahkanku masuk ke sebuah tempat duluan.

“Aku cinta kamu,” bisik seorang anak berusia sekitar sembilan tahun pada seorang anak perempuan yang duduk di sampingnya. Biarpun lagaknya berbisik, tapi suaranya terdengar cukup jelas di telingaku yang berdiri selang tiga orang di samping dua anak kecil yang duduk diapit ibu masing-masing.

“He Aryo! Masih kecil jangan ngomong cinta-cintaan!” omel si ibu pada anak laki-laki tersebut.

Aku tersenyum miris mengingat sosoknya. Yang selalu membisikkan “Aku cinta kamu” di telingaku. Kapan pun. Di mana pun. Dan dulu aku menganggap tindakan itu sangat-sangat-kuadrat-norak. Tapi kini aku merindukannya. Sangat merindukannya.

Busway yang kutumpangi mulai melambat. Pintu terbuka. Aku melangkah keluar, dengan hati yang benar-benar kosong. Aku bisa saja nggak jadi turun di halte itu, tidak mendatangi tempat tujuanku semula, melanjutkan perjalanan entah kemana. Tapi aku tetap turun.

Aku ingat saat ia duduk di sebelahku, menatapku dengan pandangan minta perhatian yang sering membuatku kesal. Aku ingat saat ia mulai cerewet menasehatiku untuk menyingkirkan rasa malasku keluar kos dan mencari makan, bukannya makan indomie terus-terusan saat ia sedang tidak di Jakarta mengawasiku. Aku ingat pertemuan pertama kami. Sebenarnya bukan pertemuan, karena hanya ia yang melihatku sedang duduk… di sana.

Di sebuah katedral indah di sana.

Hatiku rasanya semakin sesak, entah kenapa. Padahal aku yakin aku cewek yang kuat. Masa begini saja bisa merasa perasaanku acak-acakan?

“Givanna?” seorang wanita dengan wajah rapuh menoleh kaget melihatku yang melangkah masuk ke dalam gereja, sementara pastor sedang berkhotbah.

Wajahku kaku. Melihat dia. Kekasihku. Terbaring di sana. Dengan setelan jas hitam terbaiknya. Tapi dia kaku. Dan rangkaian bunga itu tidak cocok berada di atas… peti matinya.

Komentar

Postingan Populer