Rumah
Beberapa waktu lalu aku terlibat sebuah percakapan dengan seorang
teman, sampai akhirnya aku berkomentar, “Buatku, dari semua kota yang pernah
aku kunjungi dan menetap, Surabaya itu kota yang paling terasa rumah,”
“Iya, aku juga. Hmmm... gimana ya, di Surabaya, kerasa lengkap gitu.
Kamu hidup di kota gede yang semuanya ada, tapi kamu juga tetap bisa merasa
nuansa kampung-kampung gitu. Tinggal pergi ke Surabaya pinggiran saja,”
Dan kami berdua sepakat, Jakarta adalah kota yang nggak nyaman untuk
menjadi “rumah”. Aku yang sempat kuliah di kota ini selama 2,5 tahun, dan dia
yang magang di Jakarta. Aku yang sejak pindah ke Surabaya baru sekali kembali
ke kota ini untuk menghadiri pernikahan seorang sahabat dan buru-buru kembali
ke Surabaya keesokan harinya, dan dia yang kembali ke Jakarta karena kangen
makan bakso dan beberapa urusan lain.
Sejujurnya, ada beberapa pengalaman yang cukup membuatku trauma
tinggal di kota ini. Aku nggak berani pergi terlalu jauh, apalagi sendirian
selama di Jakarta. Daerah ‘peredaranku’ cuma kos-BCA tempat kuliah-BCA tempat
magang-gereja. Beberapa kali ke mall, buat ketemu (mantan) pacar, tapi selain
itu aku lebih nyaman di kos.
Kemana-mana aku hampir selalu menggunakan moda transportasi
Transjakarta atau Kopaja. Hal nggak menyenangkan aku beberapa kali diteriaki
“Cina!” atau “Amoy!” oleh orang di pinggir jalan. Ya, wajahku memang oriental.
Karena papa-mama memang keturunan etnis Tionghoa. Dan panggilan itu memang
nggak salah karena aku keturuna Tionghoa. Tapi sakit lho, dengernya. Tiba-tiba
seperti membuka kenangan luka. Rasanya seperti dibeda-bedakan sekali. Dan
mungkin bercanda bagi yang teriak begitu, tapi sungguh, itu hal menakutkan buat
aku. Rasanya langsung nggak aman.
Ada lagi satu kejadian pagi hari, waktu aku mau berangkat ke tempat
kuliah. Aku dan sebagian besar teman-temanku berangkat kuliah pasti jalan kaki
dari kos kami yang tersebar di dekat kantor BCA. Nah, untuk sampai ke BCA itu
ngelewatin gang rumah sakit dan jembatan penyeberangan yang panjangnya bikin
pengen guling-guling capek.
Pagi itu seperti biasa, aku jalan nunduk. Pakai jaket, ransel gede isi
textbook. Lewat di bawah jembatan trus mau nyebrang, ada laki-laki nepi, pakai
motor. Dia teriak ke aku. Aku noleh. Dan nyadar. He showing his genital. Dan aku balas natap benci banget sama orang
itu. Dia cengengesan, aku langsung lari dong.
Beberapa hari berikutnya aku nggak berani lewat rute itu. Aku ngambil
jalan muter yang jauhnya justru dua kali lipat. Panas, dan capek banget
pagi-pagi. Tapi hatiku masih sakit saja ingat itu. Waktu itu, aku berpikir
saja. Apa aku sama sekali nggak bisa dihargai? Apa harga perempuan itu tidak
ada sampai laki-laki bisa seenaknya?
Kejadian itu terjadi di semester akhir aku kuliah di Jakarta. Dan itu
yang membuat aku mantap bilang ke PIC, aku capek tinggal di Jakarta. Aku hanya
terlalu benci kota ini. Saat itu.
Tapi benar, waktu membuat aku sedikit belajar. Belajar paham kita
nggak harus mencintai sebuah tempat yang banyak orang punya mimpi ke sana. Kita
boleh merasa nggak nyaman atas hal yang banyak orang kejar. Kita boleh punya
luka.
Ada satu titik, yang bikin aku kangen Jakarta. Yang bikin aku akhirnya
mutusin berani datang lagi ke kota ini tahun lalu. Aku kangen naik Transjakarta
malam-malam. Naik di halte busway yang panjangnya ampun-ampunan di Benhil.
Natap mobil yang lalu-lalang dengan kecepatan penuh. Dan aku bukan siapa-siapa.
Hanya berpikir, aku kangen malam-malam itu.
Jakarta selalu mengingatkanku akan perjuangan. Jujur, titik paling
berat aku jalani adalah saat hidup di kota ini. Nggak pernah aku nangis dan
merasa terluka sesering di tempat ini. Tapi bukankah luka yang membuat kita
kuat? Bukankah patung bisa menjadi indah karena banyak dipahat? Dan jadi apa
aku sekarang, kepribadianku, ketakutan, keberanian, semua tidak lepas dari
didikan kota ini.
“Aku nggak mau Surabaya berubah. Aku terlalu betah sama kota ini,”
Rumah adalah tempat dimana hatimu berada. Buatku, rumah itu di
kota ini.
Komentar