Because Your Happiness is Your Choice
“Semua orang sibuk nyiapin
pernikahan mereka. Nikahan di mana. Undang siapa saja. Souvenirnya apaan.
Konsep acaranya gimana. Kita? Mikir taun depan cuti wajib lima hari mau dipakai
buat liburan kemana. Atau long weekend mau ‘ngilang’ ke kota mana,” ucap seorang
sahabat suatu malam.
Aku ketawa. Benar banget.
Lucu, tapi sama sekali nggak merasa tersindir.
Aku punya pacar?
Complicated, tapi anggap saja tidak.
Sebelum pindah ke Surabaya,
aku sempat pacaran lama. Lima tahun, dan akhirnya aku dan mantan mutusin untuk
temenan saja karena Jakarta-Surabaya nggak dekat. Sempat basa-basi bakal tetap
menjaga hubungan baik dan kontak-kontakan, tapi pada akhirnya hanya saling chat
beberapa menit pas ulang tahun. Tenggelam dengan kesibukan masing-masing. Dan
luka yang sempat bikin kami sama-sama sedih itu hilang, nggak berbekas sama
sekali.
Dan agak lama sibuk dengan
kerjaan, akhirnya aku pacaran lagi. Nggak sampai setahun, dan akhirnya putus
(lagi). Kenapa? Justru karena aku sudah terbiasa kemana-mana sendiri, punya
kesibukan, ya maaf-maaf saja kalau akhirnya si mantan yang kedua ini sempat BT
ke aku dan bilang, “Hei, kamu tuh punya pacar lho, Cil. Masa ke Malang saja
naik kereta sendirian, nggak minta aku yang anter gitu lho. Aku kan bisa. Kan
pacar kamu,” dan sama dia pacaran paling drama itu.
Lalu pacaran lagi.... dengan
orang yang kebalikannya. Lupa dia punya pacar. Sibuk kerja. Dan aku merasa kena
karma, mungkin aku yang jadi mikir... ini pacaran nggak sih?
Hingga akhirnya aku dan
seorang sahabat perempuan yang pengalamannya sebelas-dua belas ini sibuk
jalan-jalan kesana-kemari.
Si Sahabat pernah cerita,
tentang keluarganya waktu lebaran yang nanya kapan dia nikah, seperti sepupunya
yang lain. Seolah kebahagiaan kita adalah urusan orang lain, dan kebahagiaan itu
terukur dengan kita sudah nikah. Terakhir pulang ke kampung halaman pun seorang
keluarga menanyakan pertanyaan keramat itu. Kapan nikah? Berhubung aku anak
paling sulung. Dan aku ngambek seharian.
Lucunya, orang yang suka
iseng nanya gitu, bukan orang yang benar-benar peduli pada kita.
Papa-mamaku nikah di usia
yang nggak muda. Mama menikah dengan papaku di usia 29 tahun, dan papa 37
tahun. Dan mereka pun nggak ada nyinggung-nyinggung kapan aku mau nikah. Its
all up to me. Kadang si Mama saja yang suka kepo sama pacar. Berhubung sudah
lama nggak pacaran, mama semakin kepo.
Tiap orang punya prioritas
yang beda-beda. Buatku, aku nggak ingin menjadi perempuan yang ujung-ujungnya
diam di rumah, mengharapkan uang jajan dari suami. Karena mama pun kerja, dan
sejak kecil aku tahu rasanya bangga memperoleh sesuatu dari hasil kerja
sendiri. Bukan minta.
Aku ingin hidup dengan
penuh. Punya pengalaman menjelajahi Indonesia dari ujung Barat ke Timur. Aku
ingin memperkaya jiwaku, punya banyak cerita. Sehingga aku juga bisa mendidik
anakku kelak untuk punya toleransi dan rasa bangga akan Indonesia.
Toh punya pacar juga,
mengurangi keribetan. Hari Sabtu-Minggu aku bisa tiba-tiba ada di kota lain.
Mencoba kuliner baru, mengunjungi tempat baru, suka-suka aku. Nggak dipusingkan
dengan orang yang mesti diajak telepon.
Bukannya menolak pacaran,
hanya waktunya belum tepat. Dan belum bertemu orang yang tepat mungkin. Aku
nyaman berada dengan orang-orang di sekelilingku. Belajar banyak hal,
mengunjungi banyak tempat, tanpa banyak drama.
-Ditulis waktu harusnya
menghadiri pernikahan seorang teman kantor tapi nggak punya gandengan ke
kondangan akhirnya nongkrong di Dunkin dengan alibi besok ujian tapi malah
nulis postingan ini-
Komentar