M O N E Y
Seminggu
sekali aku punya kebiasaan ngerapihin dompet, ngebuang struk-struk ATM atau
struk jajan di Indomart, lalu ngeluarin uang-uanng koin trus dimasukkin ke
celenngan, dan nata duit kertas * kalo punya duit * dari denom terbesar
sampai terkecil, sisinya sama semua.
Ada
macam-macam benda di dompetku, walau kadang duitnya cuma selembar-dua lembar
padahal, hahaha... Tiket bioskop, kartu-kartu ATM, kartu identitas, member RS,
gelang kertas waktu ke museum angkut pertama kali, stok pasfoto, etc etc.
Dan
barusan aku membuka bagian yang jarang banget aku buka dan nemu selembar duit
denom Rp 100.000 yang terlipat tidak simetris, diantara tiket kereta api
pertamaku. Awalnya aku bingung kenapa nggak aku taruh di tempat biasa? Jarang
lho aku punya uang pecahan Rp 100.000 di dompet. Kalo pun dapat angpao denom
segitu biasanya aku masukkan ke mesin CDM ( cash deposit machine ) trus ditarik
lagi ke denom Rp 50.000 biar nggak di-BT-in ibu-ibu warung makan gara-gara
ngeribetin nyariin uang kembalian.
Aku
teringat malam itu. Nggak lama setelah tahun baru, malam terakhir aku di
Jayapura sebelum kembali ke Jakarta esok paginya karena libur akhir tahun akans
egera berakhir. Di kamar itu, terbaring sendirian di tempat tidur, seorang
laki-laki yanng memanggilku dengan suara serak.
“Presy,
besok kau kembali ke Jakarta?” tanyanya setelah aku berdiri di samping tempat
tidur.
“Iya,”
jawabku, beridri canggung ketika beliau memegang tanganku.
“Sekolah
baik-baik, ya. Habis dapat gelar S1, kau harus ambil S2,” aku hanya tersenyum
mris mendengar permintaannya, dalam hati mikir bisa dapat gelar S1 saja belum
pasti. “Habis lulus kuliah kau kerja di BCA?” tanyanya lagi.
Aku
mengangguk. Menatap matanya yang nggak lagi jernih, ada noda-noda di bola mata
itu. Dan tangan keriput itu tetap menggenggam tanganku, tersenyum.
“Jangan
lupa berdoa. Jangan sampai lupa sama Tuhan,” lagi, aku mengangguk canggung.
Aku
masih ingat gerakan tangannya yang pelan, dengan terbaring telentang, merogoh
saku celana pendeknya, mengeluarkan sebuah amplop putih dan menyerahkannya
padaku.
“Saya
tidak bisa banyak kasih kau apa-apa. Saya tidak bisa bahkan bangun dari tempat
tidur. Tapi ini yang saya punya untuk Presy ya,”
Beliau
lalu memanggil Grace, adik bungsuku, sementara aku keluar dari ruangan itu
menemui papa yang bangkit dari kursi plastik, siap mengantarku pulang.
Sesampai
di kamar, aku membuka amplop tadi dan menemukan selembar uang pecahan Rp
100.000, yang dilipat nggak simetris. Menatap pemberian beliau, dan hatiku
tergelitik haru.
Beberapa
orang nggak punya kesempatan, atau cara yang tepat untuk mengekspresikan rasa
sayang mereka pada seseorang. Bagi mereka, memberi uang membantu mereka untuk
merasa telah menyayangi seseorang. Karena itu yang biasa diberikan pada anak
kecil. Aku, bagi beliau, masih anak kecil yang bertambah tinggi saja.
Memberi
di engah keterbatasannya, membuatku memandang selembar persegi panjang berwarna
merah itu bukan hanya sekedar uang.
Tiba-tiba
aku teringat seorang pria paruh baya yang duduk di sebelahku ketika di gereja.
Ia mengeluarkan 'dompet' yang terbuat dari kertas dari saku polonya yang
terlihat lusuh, mengambil beberapa lembar uang dari sana dan memasukkannya ke
dalam kantong persembahan.
Mungkin
kadang uang bukanlah sekedar uang. Tapi ada perasaan yang tulus di sana.
Surabaya,
19 April 2015
Komentar