Cerita Nasi Kuning
Tiap
kali ada teman SMA yang tahu aku lagi – atau akan – ke Malang, komentar mereka
nggak jauh-jauh dari “Lho, kok asik, Pres? Bisa makan nasi kuning Hua Ind
dong,” Hua Ind itu nama populer SMA-ku, SMAK Kolese Santo Yusup Malang. Nah,
dulu di depan Hua Ind ada yang jualan nasi kuning di mobil warna orange, dengan
lauk macam-macam. Kami menyebutnya nasi kuning Hua Ind. Terakhir bulan lalu
waktu ke Malang, si ibu sudah nggak jualan dengan mobil orange lagi di depan
Hua Ind, tapi sudah punya toko yang nggak jauh dari Hua Ind. Nama warungnya ya
Nasi Kuning Hua Ind, dengan logo mobil orange-nya.
Dulu,
hari Minggu kalo aku ikut teman-teman asrama misa di Kapel Hua Ind, pulang misa
kami langsung buru-buru ke mobil orange di depan sekolah, ikut ngantri bersama
banyak orang lain.
Kebetuan
hari itu adikku main ke Surabaya, dan nanyain aku mau nitip apa. Spontan yang
terlintas di pikiranku; nasi kuning Hua Ind. Sudah kepikiran kangen makan nasi
kuning itu. Sampai di kos aku sudah happy ketika si Keke ngasih pesananku. Aku
langsung makan.
Dan
kalian tahu? Rasanya ternyata.... biasa saja. Tapi memang mau seluar biasa apa
ya? Aku ingat-ingat lagi, rasa nasi kuning itu dari jaman SMA ya memang begitu,
sih.
Tiba-tiba
aku teringat dengan salah satu tulisan di buku seri Kick Andy, lupa di edisi
mana. Andy F. Noya juga pernah kangen makan gado-gado depan perpus pas jaman
kuliah. Gado-gado yang sudah lama dia rinduin, setelah dia jadi Andy F. Noya
yang kita tahu sekarang. Dan rasanya... persis kaya yang aku alami. Dia kecewa.
Padahal, penjualnya sama, taplak mejanya pun masih sama.
Sekarang
terpikir, mungkin dulu kita pernah begitu menikmati sesuatu, makanan jaman SMA
misalnya. Atau, kita begitu nyaman dengan... seseorang, karena
kenangan-kenangan yang pernah kita punya dan kita punya ekspektasi bakal selalu
bahagia.
Nyatanya,
mungkin bukan nasi kuning, rasa gado-gado, atau orang yang kita kenal yang
berubah, melainkan kita sendiri yang tanpa sadar berubah seiring waktu. Kita
tanpa sadar terpengaruh lingkungan, taste kita berubah, lalu kita nggak bisa
lagi menikmati hal yang dulu kita rindukan.
Apakah
salah? Mungkin kita jadi kecewa, karena ekspektasi kita. Bukannya yang bikin kecewa
itu ekspektasi? Hehehe... Aku rasa kita nggak bisa nolak ketika akhirna kita
mesti berubah.
Lalu
nasi kuning itu pun akhirnya berakhhir bersisa, nggak habis kumakan.
Surabaya, 16 April 2015
Komentar