How, If?
Tadi
pagi aku masukin kalender meja milikku ke dalam tas. Iya, kalender
meja yang menjalani 'hidupnya' nggak sesuai kodratnya, karena nggak
seperti namanya, kalender itu nggak pernah aku taruh di meja tapi aku
lipat trus bawa-bawa di tas. Udah pertengahan bulan November. Aku
balik lembaran selanjutnya. Bulan Desember bakal segera datang, dan
kalender meja itu mesti segera aku ganti dengan kalender baru,
kalender tahun 2015.
Banyak
hal yang aku pikirin tadi pagi selama perjalananku menuju tempat
kuliahku. Bulan November. Artinya, masa kuliahku tinggal tiga bulan
lagi. Akhir Februari tahun 2015 adalah akhir masa kuliahku di PPA
BCA. Setelah itu, awal Maret 2015 aku akan bekerja di salah satu bank
swasta terbesar di Indonesia, BCA. Aku akan mengenakan blazer biru
BCA, bertemu orang-orang baru, dan... aku bukan mahasiswa lagi.
Karyawan. Banker. Dengan job-desc sendiri.
Aku
teringat perasaanku sekitar dua tahun lalu. Jujur, masa-masa awal aku
menjalani pendidikan di tempat ini, bukan sesuatu yang mudah. Aku
terus menghitung sisa hari aku berada di tempat ini, karena aku nggak
suka. Aku benci dengan hari-hariku bangun tiap pagi dan kuliah dalam
waktu yang sama tiap hari. Nggak seperti anak kuliah pada umumnya,
aku lebih merasa menjalani masa SMA lebih lama. Aku nggak suka dengan
atmosfir di kelasku ketika H-1 ujian. Semua orang panik... padahal
itu cuma ujjian? Ssemua orang ingin dapat nilai sempurna, jadi aku
pun ikut memasang tampang panik. Dan panik beneran. Bahkan beberapa
hari sebelum ujian, beberapa orang sudah selesai mempelajari bahan
ujian dan dengan tega nanya basa-basi, “Gimana Pres? Udah selesai
belajar?” oh Tuhan... ujian masih beberapa hari lagi, pikirku. Tapi
berpikir lagi... sekarang aku sudah terbiasa dengan semua itu. Karena
kalo kami bukan orang-orang yang mengejar sesuatu yang terbaik...
bagaimana mungkin kami lolos segala seleksi untuk menerima beasiswa
di tempat ini?
Lalu...
aku nggak tahu di kantor BCA yang mana tempatku setelah aku lulus.
Aku akan ditawari pekerjaan. Nggak harus aku ambil. Tapi memikirkan
berapa banyak jumlah orang yang bakal ngerebutin 'tempat' yang sudah
disiapkan buatku... rasanya, aku hampir pasti menerima penawaran itu.
Masalahnya adalah... dimana? Karena aku nggak hanya magang sebulan,
tapi aku akan bekerja di sana. Mungkin setahun, dua tahun, lima
tahun... siapa yag tahu aku akan di kota itu berapa lama? Dan itu
ngebuat aku takut.
Bagaimana
kalo aku ditempatin di... Jayapura? Tempat kelahiranku, tempat
tinggalku selama belasan tahun. Aku berpikir, mungkin sudah terlalu
lama aku tinggal jauh dari rumah. Rumah bukan lagi kota itu,
Jayapura. Ketika terakhir kali aku kembali ke sana, sekitar dua tahun
lalu, banyak hal yang terasa asing. Suatu hari nanti, pada akhirnya
seorang anak mesti bertanggung jawab buat dirinya sendiri, nggak bisa
lagi bergantung sama orangtuanya. Setelah beberapa tahun aku tinggal
jauh dari mama-papa, terkadang aku merasa kesepian, aku jadi terbiasa
menyimpan perasaanku, dan lama-lama hal itu tidak menjadi sesuatu
yang berat lagi. Kota itu, perlahan mulai bukan menjadi rumahku lagi.
Tapi jika aku ditawarkan kerja di sana... mungkin itu adalah
kesempatanku untuk mengubah perasaanku sekarang. Tentang arti rumah.
Bagiku,
rumahku sekarang adalah... Malang. Dua tahun aku tinggal di Jakarta,
dan beberapa kali kembali ke kota tempat aku menjalani masa SMA
itu... membuatku merasa kembali ke rumah. Aku selalu kembali ke kota
itu, dan nggak pernah ada seseorang yang menjemputku di bandara atau
stasiun kereta, karena memang nggak ada yang menungguku di sana.
Hanya saja, aku merasa nyaman tiap kali berjalan di sana, hari-hari
yang terasa akrab, biar pun aku sadar aku bukan lagi anak SMA yang
sekolah di sana. Dan teman-temanku pun sebagian besar nggak lagi
tinggal di kota itu. Tapi bukankah rumah, adalah tempat dimana hatimu
berada? Kamu bisa jatuh cinta pada seseorang yang mungkin nggak
pernah berbicara denganmu. Kamu bisa jatuh cinta dengan seseorang
yang memiliki kepribadian yang sangat aneh. Kamu bisa jatuh cinta
dengan sosok yang nggak nyata. Kamu hanya jatuh cinta, tanpa sebab.
Jadi aku jatuh cinta pada kota ini... biarpun nggak ada yang
menungguku. Di sini.
Jakarta,
bukan kota yang nyaman buatku. Tapi ada seseorang yang membuatku
selalu merasa nyaman di sini. Dan berada ribuan kilometer dari kota
ini, mungkin akan membuatku semakin sulit menatapnya secara langsung,
menghabiskan waktu bersama, merasakan kehadirannya di sebelahku dan
kami berbicara tentang banyak hal. Membayangkan itu, aku selalu
merasa sedih. Karena itu, aku nggak mau meninggalkan kota ini.
Tapi
bagaimana pun perasaanku, yang membuat keputusan dimana aku akan
bekerja dalam beberapa bulan ke depan bukan aku. Aku hanya berpikir,
jika aku ditempatkan di Jayapura, aku mendapat kesempatan tinggal
lagi dengan kedua orang tuaku. Tapi di Malang, aku merasa di sana
rumahku. Tapi meninggalkan Jakarta... aku nggak mau.
Aku
sampai di ruang kelasku. Beberapa teman sedang sarapan di depan
kelas, ngobrol, dan beberapa menyapaku. Aku tersenyum. Jadi aku
menjalani hari ini sambil terus berpikir dengan pertanyaan bagaimana
seandainya.... bagaimana seandainya.... Lalu aku memandang ke seisi
kelas... Kenapa kami nggak bisa selamannya di sini? Atau, di sini
untuk waktu yang lebih lama, bukan hanya selama 2,5 tahun. Dan aku
tersenyum sendiri.
“Lihat
siapa yang dua tahun lalu berdoa agar hari-hari cepat berlalu dan
segera keluar dari tempat ini?”
Ternyata,
aku mulai merasa nyaman di sini. Menjalani program ini, dengan
teman-temanku ini. Tapi kenapa ketika kita sudah merasa nyaman akan
sesuatu, kita harus mengakhirinya?
“Precill
lu jadi mau belajar MKI?” Irwan duduk di sebelahku dengan modul
MKI.
“Oh,
jadi, jadi,”
Hari-hari
dimana aku menghabiskan waktu dengan belajar, dengerin kuliah dosen,
minta diajari teman-teman tentang pelajaran yang aku nggak ngerti,
nyiapin presentasi demi nilai kuliah, bikin paper... akan segera
berakhir dalam tiga bulan ke depan. Entah aku harus senang atau
sedih. Tapi hatiku terasa sedikit sakit.
*Ditulis pada November 2014
Komentar
Seru baca blog km.. hehehehe :)
Lets meet up when I go to Surabaya or you go to Jakarta..:) Miss sup kacang merah