Life is like a game
Bulan November 2013 kemarin aku ikut acara
retret yang diadakan mahasiswa Kristen-Katolik PPA BCA. Nah, ada satu kejadian
yang cukup membekas waktu itu. Waktu itu para peserta retret sudah dibagi ke
dalam kelompok-kelompok. Lupa sih totalnya ada berapa kelompok. Tiap kelompok
anggotanya sembilan-sepuluh orang. Waktu sesi game, ada game yang tiap dua
kelompok diadu buat mindahin balon pakai tali rafia. Jadi ada empat tali rafia,
trus anggota kelompok mesti bikin jalur dari tali itu… ng, agak susah sih
jelasinnya. Pokoknya balonnya nggak boleh jatuh dan disentuh tangan gitu.
Waktu lagi main, pas udah dekat garis
finish, tiba-tiba balon kelompokku jatuh. Nah ada adik kelas di kelompokku yang
mukanya langsung BT gitu, “Yaah… jatuh,” kata si adik kelas kecewa. “Padahal
tinggal sedikit lagi,” dia masih ngoceh. Padahal yang salah nggak tahu juga sih
siapa. Mungkin malah dia yang salah. Tapi di samping salah-salahan, aku waktu
itu jadi kesal liat tingkah anak itu yang masih juga cemberut sambil bawa balon
ke garis start lagi, soalnya kalo balon jatuh mesti ngulang dari garis start.
Seorang kakak kelas, yang kebetulan sudah
jadi alumni PPA dan sekelompok dengan aku, masih sambil ketawa-ketawa
nyemangatin kami buat bawa balonnya lagi. Dia yang ngasih kami komando seperti
awal tadi. Trus di tengah jalan, dia ngomong gitu, “Duuh, mainnya lho. Mukanya
jangan serius-serius amat gitu dong,” ocehnya dengan muka lucu. Kami tertawa
sambil tetap ngeliatin balon. “Gue heran deh, anak PPA ngerjain apa saja
bawaannya serius. Maen aja dibawa serius. C’mon, ini cuma game, tujuannya
refreshing,” ucapan kakak kelas waktu itu, masih aku ingat sampai sekarang.
Aku jadi teringat ucapan seorang pengajar
di mata kuliah komputer waktu cawu satu dulu. “Anak PPA itu biasanya dewasa
lebih cepat dibanding mahasiswa biasa,” kata pengajar yang juga alumni PPA. Dan
memikirkan ucapan kakak kelas waktu game pas retret, aku jadi mikir, benar juga
ucapan pengajarku di kelas komputer dulu.
Kami, mahasiswa PPA, dibiasin buat nggak
curang. Mikir buat curang aja nggak. Datang terlambat juga bisa dihitung dengan
jari dari awal jadi mahasiswa sampai lulus. Bacaan isengnya koran Kompas,
obrolan di sela jam break atau istirahat tuh tentang kurs Rupiah, harga saham
BCA, bunga deposito, bunga KPR, soalnya pas jam kuliah beberapa dosen suka
nanyain kami. Dan daripada malu-maluin sekelas nggak ada yang bisa jawab,
hampir semua kelas di PPA langganan Kompas. Dan siapa tahu pembaca ada yang
iseng nyari pacar anak PPA, cowok-cowok di PPA, paling nggak teman-teman sekelasku,
sudah pada mikirin cara pengajuan KPR BCA buat beli rumah, haha…
Aku nggak membantah, kami memang, mungkin,
dewasa lebih cepat. Tapi tanpa kami sadari, mungkin membuat kami tidak bisa
menikmati hal-hal yang santai, seperti game di retret itu. Semua kami anggap
kompetisi, karena kami terbiasa berkompetisi buat dapatin nilai yang baik,
penilaian waktu OJT yang terbaik juga. Padahal, ada hal-hal yang sebenarnya
kita nggak perlu berusaha mati-matian buat menang karena… nggak akan membawa
dampak. Kita jadi lupa tujuan awal karena sibuk ngejar kemenangan.
Balik ke soal game waktu retret itu.
Kelompokku habis ketawa-ketawa gitu, lanjut jalan buat ngejar ketinggalan kami
dibanding kelompok satunya. Dan tahu nggak? Justru kelompokku yang berhasil
sampai di garis finish duluan. Ya, hidup itu seperti game. Santai saja,
nikmati. Dan ketika mesti ngulang, ya sudah, jalani saja. Nggak ada yang
nyangka justru bisa menang.
Komentar