Say "Hi" To A Stranger
Hari ini kebiasaan sok tahu-sok nekatku
kumat lagi. Jadi seperti yang kalian tahu (lewat postinganku sebelumnya), aku
bukan orang asli Malang yang lahir-besar di Malang. Aku baru tinggal di kota ini
ketika SMA, dan jatuh cinta pada kota sederhana ini, sehingga kalau liburan aku
suka kembali ke kota yang aku anggap rumah ini.
Oh, bentar, balik lagi ke cerita awal, tadi
aku mau cerita apa, ya?
Nah, jadi gini, hari ini aku mau ke
penjahit buat ngecilin blazer seragamku yang kebesaran. Berhubung aku nggak
pengen sok kaya naik taksi ke tempat si penjahit, aku berniat ke daerah si
penjahit pakai angkot. Masalah muncul ketika aku… nggak tahu rute angkot ke
sana. Nama daerah bapak penjahit aja aku nggak tahu. Sering nggak sih kamu
mengalami, kamu sering ke suatu tempat, tapi nggak tahu nama daerah itu apa?
Hehe.. Jadi akhirnya aku searching di Google, trus nemu nama jalan yang aku
tuju. Paling nggak, aku tahu tujuanku ke mana. Kan lucu kalo nyasar trus ditanyain
orang, “Memangnya Mbak mau kemana?” nggak bisa jawab gitu.
Dengan berbekal tekad siap nyasar, aku
jalan ke ujung gang, dan sampai di sebuah jalan besar tempat nyari angkot. Aku
nyeberang dengan seorang ibu-ibu yang umurnya udah “senior”, dengan jilbab
kotak-kotak berwarna hitam-putih. Aku pikir, nggak ada salahnya aku nanya ke si
ibu aku mesti naik angkot apa. Tadinya aku mikir mau nanya sama sopir taksi
yang lewat aja, soalnya kalo nanya sama pejalan kaki gitu, stereotype-nya kan
orang Indonesia jaman sekarang suka nipu.
“Permisi Bu, mau tanya, kalo ke A. Yani
naik angkot apa ya Bu?” tanyaku.
Si Ibu memandangku, senyum, dan di luar
dugaan sodara-sodara, beliau megang tanganku. Udah deg-degan aja aku. Ya ampun…
jangan sampai dihipnotis ya Tuhan… “Oh, naik angkot AL Nik, trus turun di
Semeru, nanti lanjut pakai angkot AG. Saya juga mau ke sana. Bareng kita,”
cerocos si ibu. Aku (berusaha) senyum sopan sama si ibu. Deg-degan nggak sih?
Kamu, remaja yang terbiasa baca berita-berita kejahatan di koran atau internet,
penipuan dimana-mana, tiba-tiba ada ibu-ibu nggak dikenal megangin tangan kamu?
Untungnya aku masih punya akal sehat buat nggak langsung kasar ke si Ibu.
“Nonik asalnya darimana?” tanya Ibu itu,
berbalik melihat ke arah jalan, menunggu angkot lewat. Aku cukup lega gara-gara
si ibu udah nggak megangin aku lagi.
“Dari Jakarta, Bu,” jawabku.
“Saya kira Nonik orang Korea, lho,” Hah? “Di
sini banyak mahasiswa dari luar negri kaya dari Filipin gitu juga soalnya,” si
Ibu menatapku lagi. Oke, makasih ya Bu. Mungkin aku cocok juga kalo ngomong “Oppa~
Oppa~” dengan nada manja gitu? Haha…
Angkot yang ditunggu tiba. Si Ibu ngajak
aku masuk ke angkot tersebut. Di perjalanan, ibu tadi cerita kalo dia punya
seorang cucu yang lagi kuliah di Singapura. Cucunya sudah tinggal di negri
tersebut sejak SMP, jadi ogah ketika disuruh pulang dan kuliah di Indonesia. “Duanianya
sudah lain,” begitu komentar ibu tersebut ketika menceritakan soal cucunya. Si
ibu sempat nanyain aku kuliah semester berapa. Aku jawab saja semester lima.
Anggap saja 1 cawu di PPA setara dengan 1 semester di universitas regular. Hehe…
“Pak, Pak, ini ngelewatin masjid Sabilillah
yang di Blimbing itu, Pak?” Ibu itu bertanya dalam bahasa Jawa yang sudah aku
terjemahin ke si pak sopir.
“Nggih Bu,”
“Aku turun di BPJS, ini lho anakku turun di
sana,”
Anakku? Aku ngulang dalam hati.
Angkot menepi di tempat tujuan Ibu tadi. Si
Ibu turun, dan membayar ongkos angkot untuk dirinya dan untukku. Aku protes
karena ngerasa nggak enak. Si Ibu nggak menanggapi. Hanya senyum dan pergi.
Aku melanjutkan perjalanan, dan terus
berpikir. Entah kenapa, aku ngerasa beruntung banget dengan kejadian barusan.
Aku nggak ngerti, kenapa aku mengatakan salam pada si ibu yang sampai ketika
ibu itu turun dari angkot, beliau nggak tahu namaku, begitu pun dengan aku. Aku
nggak tahu kenapa ketemu dengan ibu itu. Yang menunjukkan jalan pada seorang
cewek nggak dikenal, cerita tentang cucunya pada cewek yang nggak dia kenal,
dan bayarin ongkos angkot buat cewek yang dia nggak tahu siapa.
Dan mendadak hatiku terasa hangat. Di
tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang semakin sarkatis, nggak percaya pada
orang dan punya prinsip bahwa di hidup ini nggak ada yang namanya musuh sejati
dan kawan sejati, semua penuh kecurigaan, aku diijinkan bertemu dengan Ibu
tadi. Yang ngebuktiin kalo… nggak semua orang punya hati yang sedingin
dugaanku.
Komentar