Childhood
Aku sudah akrab dengan istilah MKKB yang
sering dilontarkan teman-temanku kalo aku atau teman-temanku bertingkah
‘kampungan’ seperti heboh liat perosotan anak-anak, maen ayunan, atau
bertingkah aneh-aneh seperti anak kecil. Seperti masa kecil kami kurang bahagia
dan kami ingin menikmati masa kecil kami saat itu.
Buatku, masa kecilku bukan hanya saat aku
berumur lima tahun, tapi sampai aku SMP. Masa kecilku adalah masa sebelum aku
seperti sekarang. Aku nggak merasa sudah dewasa sih, tapi aku hanya merasa
bahwa masa-masa itu adalah masa yang sudah terpisah dengan diriku saat ini. Aku
anggap masa itu adalah masa kecilku.
Aku menghabiskan belasan tahun tinggal dan
besar di Jayapura, sebuah kota yang tenang di ujung Indonesia. Masa kecilku
jauh dari fasilitas-fasilitas dan tempat-tempat hiburan serba modern seperti di
Jawa. Namanya saja Jayapura, akses terhadap hal-hal baru, yah… masih susah.
Saat itu aku hanya memandang kehidupan di Jawa dari TV dan menganggap bahwa
kehidupan tersebut adalah kehidupan TV. Hidup yang sebenarnya hanyalah seperti
hidup yang saat itu kujalani.
Masyarakat di tempatku tinggal masih
menganut sistem paguyuban. Kekerabatan kami masih dekat. Nggak peduli apakah
aku dan keluargaku berasal dari etnis tionghoa, dan si A adalah etnis Batak, si
B wong jowo, kami tetap saling bertegur sapa bila bertemu di jalan. Bahkan
kadang waktu aku ikut papa ke daerah kampung yang rada pelosok-pelosok gitu,
waktu bertemu orang yang kami nggak kenal di jalan, mereka tetap memberi kami
senyum dan nyapa papa, “Selamat pagi, bapa,”. Suatu hal yang kini aku syukuri
karena sempat kualami. Hal yang membuatku tersenyum ketika mengingatnya, saat
aku merasakan tinggal di luar kota Jayapura.
Sewaktu masih tinggal di Jayapura,
orangtuaku-khususnya mama-selalu ribut nyuruh-nyuruh aku ke gereja, nyeret aku
bangun dari tidur siang buat ikut persekutuan remaja sore-sore. Dan aku mulai
belajar tampil dan memimpin sesuatu di depan umum saat aku menjadi Worship
Leader (WL) di kebaktian Pra Remaja. Aku masih ingat… banget. Pertama kali jadi
WL bareng sahabatku Astri. Aku ingat banget perasaanku yang nunggu-nunggu
kebagian giliran buat jadi WL karena kagum dengan kakak-kakak kelas yang bisa
mimpin kebaktian dengan bagus. Aku pengen bisa kaya mereka. Dan aku ingat,
bahkan berminggu-minggu sebelum bertugas jadi WL, aku latihan di rumahnya Astri
sampai malam, padahal jarak antara rumahku dan Astri cukup jauh.
Dan aku pertama kalinya memimpin sebuah
acara sendirian waktu persekutuan remaja sore-sore di rumah satu teman. Aku
yang mimpin mau nyanyi lagu apa, mikir ayat Alkitab yang mau dibaca apa, dan
aku sempat mikir mau pura-pura sakit pas hari H saking nerveousnya, padahal
yang hadir cuma berapa puluh orang. Teman-teman sebaya lagi semuanya.
Papa-mamaku juga nggak kaya-kaya amat. Aku
dibesarkan di keluarga yang sederhana. Karena itu aku dan adik-adikku jarang
dibeliin ini-itu kalo emang nggak perlu-perlu banget. Tapi kami diajarin buat
menjadi orang yang kreatif sehingga bisa mendapatkan sesuatu dengan usaha sendiri.
Hal ini bikin aku benar-benar ngerasa bersyukur punya orangtua seperti
papa-mamaku. Aku ingat banget waktu SD kelas IV, tulisanku dimuat di majalah
Bobo. Aku dapat bingkisan kaos gambar Bobo. Waktu itu aku senang banget pakai
tu kaos. Trus waktu itu kan jamannya boneka Barbie. Aku sama sekali nggak punya
boneka Barbie. Harganya kan ratusan ribu. Aku pengen punya satu boneka seperti
yang dipunyai seorang temanku yang koleksi Barbie-nya lengkap. Trus aku ikut
lomba nulis cerpen di majalah Bobo (lagi). Dapat boneka Barbie! Senang banget.
Dan sekarang aku ngerasa lebih bangga dapatin satu boneka Barbie dengan usahaku
sendiri. Walaupun sekarang tuh boneka udah ga tau dimana sih.
Waktu SD juga aku ingat aku pengen beli
sepatu baru. Trus kebetulan sekolahku ngadain bazaar gitu. Berbekal modal
tabungan uang jajan sendiri, aku beli manik-manik di toko Cahaya 45 trus bikin
kerajinan tangan kaya kalung, gelang, dan gantungan kunci yang awalnya kupikir
paling cuma laku sedikit. Tapi waktu bazaar selesai, hampir semua jualanku
habis. Untungku waktu itu seratus ribu lebih, aku beliin sepatu baru.
Sekarang, saat aku noleh lagi ke masa
childhood itu, aku merasa bersyukur. Aku senang karena pernah tinggal di
Jayapura, sebuah kota yang dipandang orang-orang yang nggak pernah ke Jayapura
sebagai kota yang isinya hutan tok dan orang-orang disana nggak pake baju, tapi
aku tahu kekayaan-kekayaan alam di kota itu, aku tahu hal-hal unik di sana, aku
pernah terpesona dengan keindahan pantai-pantai di sana, dan aku tahu segudang keajaiban-keajaiban
di kota Jayapura, yang nggak semua orang tahu. Dan kalo ada orang yang nanyain
aku tentang Jayapura, aku akan dengan semangat cerita tentang kota yang sudah
membentuk aku menjadi aku yang sekarang. Kota yang sederhana, tapi menyimpan banyak
keistimewaan.
Aku juga bersyukur udah ngalamin
macam-macam hal. Aku sejak kecil udah ‘dipaksa’ tampil didepan umum. Paling
nggak sekarang aku nggak nervous-nervous amat kalo tampil di depan
teman-temanku buat presentasi, atau waktu ujian speaking. Aku juga bersyukur
karena aku ngerti susahnya mendapatkan sesuatu, sehingga aku lebih menghargai
apa yang aku punya. Aku juga jadi tahu potensi apa yang aku miliki, dan aku
tahu cara memanfaatkan potensi yang aku punya, seperti menulis.
Dan akhirnya, aku selalu tersenyum
mengingat childhood-ku. Masa yang bagiku sangat-sangat-kuadrat bahagia.
Ya, makhluk di atas adalah saya :) |
Komentar