Kisah untuk Para Pekerja
Dua hari yang lalu, penyakit
lamaku yang nggak keren itu kambuh : maag dan masuk angin. Jadi ceritanya, di
malam minggu itu aku baru pulang ketemuan sama papa yang besok akan berangkat
keluar kota. Pulang-pulang kok malah nggak enak badan. Mungkin karena nggak
cocok sama AC mall dan sok pakai baju kekinian yang pundak kebuka gitu (ya
maklum, biasanya panas-panasan di desa), akhirnya ngerasa nggak enak gitu. Sudah
tengah malam, dan aku pikir okelah.... aku coba tidur saja.
Sampai jam satu pagi, aku
masih belum bisa terlelap. Mulai kerasa mual-mual, dan mulai deh muntah-muntah.
Perut mulai kerasa sakit, mungkin karena makanan yang tadi sudah dimakan, malah
dimuntahin. Aku coba makan roti dan susu biar keisi. Lah. Perutku masih nolak.
Akhirnya aku tambah lemas. Aku mulai ngerasa kedinginan padahal AC di kamar
sudah kumatikan.
Tambah stress waktu nyadar
kalau persediaan obat (termasuk minyak kayu putih) kutinggal di laci kantor.
Aku berbaring. Panik. Stres. Tapi nggak bisa ngapa-ngapain. Setelah malam itu
berlalu dan aku cerita kejadian ini pada seorang kawan yang juga anak kosan,
dia bilang, “Makanya itu Cil, aku selalu rapihin kamar kosan. Misalnya nih
ya... aku tidur dan nggak kebangun lagi. Paling nggak aku ditemukan dalam kondisi
kamar kosan ‘masuk akal’ gitu,” dia bercanda. Aku tertawa dan setuju. Tapi
percayalah ngetawainnya agak perih. Ya begitulah jadi anak kosan.
Beberapa saat berbaring dalam
kondisi yang nggak kunjung membaik, akhirnya aku baru kepikiran untuk buka
aplikasi Gojek, milih fitur Go Shop, lalu minta si abang gojek beliin air
mineral dan minyak kayu putih. Aku sudah agak hopeless waktu aplikasinya
muter... mencari driver. Masa subuh-subuh begitu ada driver yang mau ambil
orderan? Eh ada loh ternyata. Dan ketika si driver nelepon aku, aku benar-benar
ngerasa terselamatkan.
Kelar minum obat dan pakai minyak, kembali aku coba gulang-guling biar bisa tidur. Aku sadar kalau aku emang mesti banget nelan makanan. Waktu itu sudah jam dua pagi, dan aku kembali lihat-lihat daftar tempat makan di Go Food. Makanan di Surabaya yang biasanya masih buka jam segitu : Bubur, dan... nasi babat. Akhirnya aku pesen bubur ayam. Cuma bisa makan dikit, tapi itu yg bikin aku akhirnya bisa tdur.
Besoknya setelah cukup tidur, aku mesan jasa Mbak Go Massage ke kosan. Dan di hari kejepit hari Senin kemarin, aku bisa masuk ngantor kaya biasa. Sok tegar dan kembali pecicilan. Padahal dalam hati masih niat meringkuk manja di kasur.
Kisah inspiratif cici Precill belum selesai sampai di situ. Hari Senin itu, pas pulang kantor, ban motorku bocor. Ketusuk paku. Aku ke tukang tambal ban dekat kosan, dan sambil si Bapak merbaiki, hujan lebat. Kan posisinya ban motor udah terlanjur dibongkar di tempat yang nggak ketutup. Mau dipindahin ya repot, sudah hujan. Akhirnya aku minjamin si Bapak payung loreng-loreng macanku. Sambil si Bapak payungan dan ganti ban motor, aku neduh.
Si Bapak & Payung loreng-loreng gemesku |
Beberapa hari ini, aku ngerasa istimewa ngalamin kejadian-kejadin tersebut. Bukan karena aku sakit, atau repot. Tapi aku diijinkan untuk lebih menghargai orang. Coba yaa... semua driver subuh-subuh mager & nggak mau ambil orderan. Coba yaa... yang punya tambal ban bilang, "Nik, saya udah tutup nih. Ke tempat lain aja,"
Kembali aku diingatkan, kadang, kita kerja nggak sekedar kerja nyari uang. Tapi untuk memudahkan hidup orang lain. Mungkin ketika di hati sudah mikir gitu, ada loh orang-orang yang ngedoain kamu. Kadang aku mikir, untung ada yang jadi tukang parkir. Untung banyak driver transportasi online. Untung aja ada yang mau jualan makanan. Untung ada yang mau ngerjain kerjaan paling remeh sekalipun. Karena kita kan nggak bisa ngerjain semua sendiri. Kita butuh orang lain. Dan apakah kita juga sudah jadi orang yang dibutuhin?
Sebagai anak muda yang
barusan banget mulai meniti karir, pasti punya ekspektasi tinggi. Punya posisi
tinggi. Gaji gede. Hidup bahagia. Kalau kata dosenku, There is no free lunch, my friend!
Beberapa teman seangkatanku
ketika SMA, ketika kuliah, berhasil membuatku takjub dengan pencapaian mereka.
Iri? Aku pengen. Tapi nggak usahlah memburu-buru waktu. Mungkin aku belum siap
diberi kepercayaan-kepercayaan besar. Dan sementara itu, aku memilih untuk
lebih menghargai apa yang aku kerjakan. Mungkin apa yang aku lakukan, telah
mempermudah hidup orang lain.
Cerita terakhir, ini kisah
sekitar satu-dua tahun lalu. Waktu itu aku diberi tugas jadi duty officer di
salah satu cabang di mall. Tugasku, ngehubungin nasabah dengan customer service
di ruangan video banking. Salah satu nasabahku, seorang ibu-ibu dan anak cewek
usia pelajar SD kalau nggak salah. Mau buka rekening buat anaknya. Kuajak ke
ruangan VBK dong. Setelah proses sama customer service selesai, si Ibu nanya,
“Ini kartunya (kartu ATM)
jadinya berapa lama?”
“Habis ini langsung dicetak
sesuai desain yang tadi adiknya (si anak) milih, Bu. Nanti keluar dari lubang
ini (nunjukin tempat cetak kartu),” jawabku.
Si Ibu ngangguk, dan nggak
berapa lama ada kartu jatuh dari lubang. Langsung diambil sama anaknya,
dilihatin dengan mata berbinar-binar. Beneran aku nggak bohong, si anak
kelihatan senang banget lihat kartu warna-warni punya dia.
“Wah, hebat banget ya
sekarang. Cetak kartu langsung jadi gini. Canggih yaa,” aku ingat banget
kata-kata si Ibu ini. Soalnya mendadak aku jadi bangga banget. Padahal yang
nyiptain mesin itu aja bukan. Yang jadi customer service aja bukan. Cuma mandu
nasabah dari hall ke ruang VBK.
Besoknya, aku ketemu seniorku
di kantor yang ngegantiin shift tugasku kemarin. Jadi kemarin itu aku jaga di
shift pagi – siang, dia yang siang – malam.
“Precill, ingat nggak
nasabahmu, ibu-ibu yang pakai jilbab sama anaknya yang cewek kemarin itu?”
“Iya Kak, ingat. Kenapa?”
“Iya, kemarin kan mampir
lagi. Trus nanyain kamu. Katanya salam ya, buat Cici yang bantuin bikin rekening
kemarin,”
Sisa hari itu aku habiskan
dengan bahagia. Iya, nasabahnya nggak tahu kalau bukan aku yang bantuin dia
bikin rekening, aku cuma nemani. Tapi diingat sama dia, itu sudah apresiasi
buatku. Dan aku senang.
Surabaya, 03 Februari 2019
Komentar