Where You Can Find Love
“Jadilah orang baik. Sebenarnya, mama percaya kepribadian itu seperti
cermin yang bakal cerita tentang sosok yang akan jadi jodoh kita. Kamu jadi
orang baik, laki-laki yang akan jadi suamimu juga (pada dasarnya) adalah orang
baik. Kamu jahat, maka kamu juga akan dapat pasangan laki-laki jahat,” percaya
atau nggak, nasihat itu diberikan mamaku waktu aku masih tinggal di Jayapura,
which is ketika aku masih SD atau SMP. Anak kecil yang belum ngerti
cinta-cintaan dinasehati begitu.
Waktu berlalu, dan setelah dipikir-pikir, (mungkin) si mama ada
benarnya juga.
Talking about love, ada kisah cinta menarik yang mau aku ceritakan.
Tentang bagaimana papa dan mama bertemu.
Mama berasal dari keluarga yang nggak kaya, tinggal di Kota Bandung.
Dan selepas kuliah, punya ide random ngikuti misionaris Katolik (padahal si
mama Kristen, bukan Katolik) untuk melakukan pelayanan di sebuah pedalaman di
belantara Papua, melayani di kota Agats, kabupaten Asmat. Berhubung kemampuan
merangkai kata-kata mama bagus, salah satu jobdesc mama adalah sebagai
sekertaris pastor. Bales-balesin suratnya pastor. Di sana mama juga ngajar
baca-tulis, ngajar Sekolah Minggu juga.
Dulu, hampir seratus tahun lalu, seorang pastor berkebangsaan Belanda
bernama Jan Smith melakukan pekabaran Injil di kabupaten ini. Waktu itu
semuanya masih primitif, termasuk penduduknya. Hingga suatu hari pastor Jan
Smith ini meninggal dengan penyebab yang masih menjadi misteri sampai sekarang.
Nah sebelum meninggal, Pak Pastor ini sempat ngomong (yang diartiin sebagai
kutukan) kalau Agats akan basah dan menjadi wilayah rawa untuk selamanya.
Melayani di Agats, bukan hal yang gampang. Satu, fasilitas serba
minim. Yakali di hutan mau minta macem-macem, mau makan macam-macam. Dan
orang-orang yang tinggal di sana, jelas jauh dari kata “kekinian”. Adatnya
sangat kental, dan sebagian besar percaya sihir. Bahkan nggak jarang orang yang
pergi ke sana (sebagian besar misionaris) nggak pernah kembali lagi. Hilang
ditelan bumi. Perjalanan dari Jawa-Papua saja sudah memakan waktu
berminggu-minggu di kapal. Belum lagi waktu tempuh untuk sampai di salah satu
pedalaman paling random. And my mom did it.
Cukup tentang mama, sekarang papa. Papa kecil dan besar di Merauke.
Ya, kota paling timur di Indonesia. Yang ada kangurunya, yang terkenal dengan
sarang semut raksasa. Papa berasal dari keluarga yang ya... nggak kurang.
Selepas kuliah, papa mulai merintis jadi kontraktor. Ngerjain proyek
pembangunan di pedalaman papua, salah satunya, di Agats.
Dan singkat cerita, papa jatuh cinta dengan wanita dari Jawa yang
berani datang ke tanah random itu buat ngajar. Aku sering dikira becanda waktu
nyeletuk, “Yauda sih nyari jodoh bisa dimana saja. Papa-mamaku saja ketemu di
hutan,” aku nggak bercanda sih. Mereka, literally, emang ketemu di hutan.
Seorang kakak kelas, ketemu calon suaminya di tukang tambal ban.
Seorang sahabat bertemu dengan pacarnya gara-gara postingan di Instagram dan
ngetag location yang sama di fotonya. Aku?
Pernah pacaran dengan orang yang papasan sama aku di koridor kelas pas
SMA (insert lagu-lagu romantis jaman dulu, dan mari bayangkan adegannya, kaya
film-film jadul haha). Pernah pacaran dengan orang yang duduk sebelahan sama
aku waktu meeting bank-bank se-Surabaya (OK, mungkin aku dituduh duduk di
sebelah cowok ganteng, kaga! Itu ngambil nomor tempat duduknya saja pake undian
di dalam fish bowl, lho). Juga, jatuh cinta (mungkin) sama seseorang yang
ngobrol denganku di lift.
Kita nggak pernah tahu, orang asing yang kita pikir nggak sengaja
berada di sebelah kita, akan punya kisah dengan kita. Kisah yang panjang. Kisah
yang manis, atau berakhir sedih.
Kita nggak pernah tahu. Lalu, kenapa nggak berani untuk mencoba? Ketika
kamu pernah merasa terluka, kamu punya dua pilihan : takut untuk terluka lagi
dengan menghindar untuk mencoba buka hati kamu. Tapi bukannya itu seperti
menggunakan obat bius? Sakitmu bukannya hilang, tapi tertunda. Dan ketika
efeknya habis, sakitnya akan lebih menyakitkan.
Atau kamu bisa memilih menjadikan sakit itu seperti vaksin. Ya, kamu
semakin kuat.
Pada akhirnya, orang-orang asing yang akhir ceritanya nggak manis itu,
berakhir menjadi kisah yang kutulis. Because if a writer falls in love with
you, you can never die.
Komentar