A Place Called Home In Ternate
Bentuk Perhatian Sederhana Bu Aty |
“Tahu nggak, aku nemu penginapan di Ternate yang bikin aku kepo,” ceritaku ke Regina - satu-satunya orang yang (biasanya) tahu aku akan ‘menghilang’ kemana di akhir pekan karena kebanyakan malah dia yang memberiku ide pergi kemana.
“Dimana?”
Aku mengirim sceenshot e-mail konfirmasi.
Malam itu aku memesan sebuah kamar di Kurnia Homestay Ternate lewat
Agoda. Poin pertama, homestay ini berada di urutan paling atas hasil pencarian,
soalnya aku ngefilter dari yang harganya paling murah (karena aku belum jadi
traveller kaya raya hahaha). Nah, kebiasaanku, aku baca dulu review
orang-orang.
Dan kamu tahu? Aku sama sekali nggak menemukan keluhan. Dan yang
ngasih review justru kebanyakan WNA. Loh. Yang menarik, setelah aku baca-baca,
semua nulis satu kesimpulan : “Penginapan yang benar-benar kaya rumah sendiri.
Pemilik guest house, Aty, adalah orang yang sangat ramah, informatif, dan
memberikan lebih dari yang diekspektasikan,” Bahkan penginapan ini menawarkan
opsi mau disediakan sarapan atau nggak, free of charge. Plus penjemputan atau
pengantaran ke Bandara, serta menyediakan kendaraan untuk berkeliling Ternate.
Nggak percaya dengan review yang terlalu manis itu, aku googling dong.
Bisa aja komen yang ditampilkan sudah disortir dulu sama yang punya penginapan.
Gitu pikirku. Waktu aku searching nama penginapan ini di Google, aku masih
menemukan hal yang sama : tulisan orang-orang tentang kerinduan mereka kembali
ke Ternate, dan nginap di sebuah tempat yang mereka anggap rumah – Kurnia
Homestay.
Sekitar dua hari sebelum keberangkatanku ke Ternate, baru aku ngontak
Bu Aty via SMS. Karena sebenarnya aku belum yakin-yakin banget bisa berangkat
karena jadwal piket weekend (anak kantoran life) belum keluar. Aku bilang, Bu,
aku mau dong direntalin motor. Tapi yang matic – sungguh tamu yang demanding
banget ya. SMS-ku nggak dijawab. Okelah, aku lanjut kerja. Malamnya, justru
setelah ngobrol dengan orang yang diusulin Regina – sungguh aku beruntung punya
teman yang suka ngestalk akun jalan-jalan – justru aku nemu ide yang lebih
bagus : Menggunakan jasa guide di Ternate. Setelah kupikir-pikir iya juga. Segitu
PD-nya kamu mau bawa kendaraan sendiri padahal intensitas nyasarmu itu gede
banget, Cil? I can’t live without google map. Belakangan setelah pesanku
dibalas lewat WA oleh Bu Aty, Beliau kasih info kalau nyewa motor tuh bisa,
harganya Rp 100.000 per hari. Lumayan sih, buat yang PD pergi sendiri. Tapi aku
hanya punya waktu satu hari untuk keliling Ternate, sayang kalau pakai acara
nyasar-nyasar dulu.
Sabtu pagi, aku tiba di Bandara Sultan Babullah Ternate setelah
perjalanan yang bikin ngantuk. Aku terbang dari Surabaya sekitar jam 22.30,
delay lebih dari satu jam. Nggak nyalahin sih, soalnya hari itu terjadi Tsunami
di Palu, dan aku pikir mungkin berdampak juga untuk penerbangan. Kata El, kalau
aku terbang sesuai jadwal, dari pesawat Makassar menuju Ternate aku bisa
menyaksikan sunrise. Pilih seat di bagian kanan, di samping jendela. Tapi aku
ketiduran dan bangun waktu matahari terang benderang dan pipiku kepanasan
karena nempel di jendela.
“Kamu tahu letak penginapannya kan, El?” aku memastikan sambil
memasang helm, sementara El menata koperku di jok depan motornya.
Eh ngomong-ngomong aku mau cerita (trus daritadi kamu ngapain aja?).
Sudah dua kali aku berangkat, short trip, tapi bawa koper. Biasanya kan aku bawa
ransel. Ternyata bawa koper kecil di kabin itu lebih menyenangkan. Mikir waktu
pulangnya, kalau mau beli oleh-oleh atau titipan, tetap nggak nenteng bawaan
banyak. Kan space di koper banyak. Lalu baju pun nggak perlu aku puntel-puntel
kaya di ransel. Plus, aku suka dengar suara roda koper digerek. Gredek gredek
gitu.
“Tahu kok. Sesuai sama alamat yang kemarin kamu kasih, kan?” El
menstarter motornya, dan kami pun keluar dari bandara.
Sekitar 15 menit dari Bandara, El menghentikan motornya di sebuah rumah
berpagar biru. Bingung aku. Trus ingat, memang ditulis kalau penginapan ini
hanya punya dua kamar, ya mestinya aku expect ngelihat rumah biasa gini dong.
Kami turun dari motor, dan El membuka pagar. Enak saja gitu, kaya rumah
sendiri. Lalu dia buka pintu rumah. Lah, nggak ada orang.
El ngucapin salam, tapi nggak ada yang nyahut.
“Coba aku WA si Ibu deh. Kemarin aku sudah bilang mau datang pagi
sih,” aku duduk di kursi.
Nggak berapa lama WA-ku dibalas. Si Ibu lagi nyuci, pintu sengaja
nggak dikunci, silahkan taruh koper saja di kamar.
Lah, kamarku yang mana, Ibu? Akhirnya aku milih ngaso cantik dulu.
Lalu tertarik dengan map kuning bertuliskan Guest Info di atas meja. Isinya
benar-benar lengkap, tempat-tempat recommeded bahkan pilihan transportasi
hingga detail harga kapal untuk ke pulau.
“Mbak Pricil, maaf ya nunggu,” tiba-tiba seorang perempuan dengan
senyum lebar muncul di ruang tamu, suaranya terdengar girang.
“Halo Bu, nggak apa-apa,” intonasiku nggak kalah girang. Setelan,
sebenarnya aku mulai meleleh kehausan, tapi kebiasaan ngejawab telepon dengan
standart ceria di kantor, jadi ya gini.
“Ini kamarnya,” si Ibu menyerahkan serenteng kunci padaku, dan membuka
pintu kamar di sebelah ruangan kami duduk. Ada kunci pagar juga ternyata, takut
dia pergi dan tamunya nggak bisa masuk rumah.
“Mbak Pricil, mau minum, makan, bisa ambil sendiri ya. Anggap rumah
sendiri. Dapurnya ada di sana,” si Ibu masih ngomong dengan intonasi sama,
sementara aku ngegeret koper ke dalam kamar. “Temannya mau minum juga. Bikin
sendiri ya. Di sini tamu saya, temannya, anggap rumah sendiri. Urus diri
sendiri, hahaha...” aku ketawa dalam kamar. Buru-buru ganti baju, sementara si
Ibu malah sudah ngobrol dengan El.
Singkat saja obrolan kami saat itu, karena aku segera keluar dengan
El, mengeksplor Ternate. Hingga sekitar jam 19.00 kami baru kembali ke rumah,
dan aku merasa kumal kuadrat. Aku buru-buru mandiri dan duduk bengong dengan
segelas teh yang kubuat sendiri di meja makan, nungguin El yang janji jemput
aku lagi buat makan nasi kuning.
“Lho, udah pulang?” Bu Aty tiba-tiba muncul dari kamarnya yang
letaknya di depan dapur.
“Iya, Bu. Tapi ini mau pergi lagi,”
“Eh, ngomong-ngomong,” dia sibuk ngubek-ngubek lemari. “Mau bikin roti
isi?”
“Ah nggak usah Bu, ini mau pergi makan juga kok,”
“Tapi El belum datang toh. Sebentar,” dia masuk lagi ke dalam kamar,
dan tiba-tiba muncul dengan sepiring kue. “Coba ini, nastar, sama kue oreo,”
Kue-kue itu ditata rapih di piring hijau. Aku bilang makasih, lalu si
Ibu masuk lagi ke kamar, siap-siap mau ke acara pengajian.
Besok paginya, aku diantar si Ibu ke Bandara dengan mobil. Dia
berpesan untuk kembali lagi ke Ternate, dan terimakasih karena sudah nginap di
rumahnya. Sebelum turun, aku berusaha membayar si Ibu, tapi dia nolak.
“Nggak, jangan. Nggak boleh. Saya nggak ngelakuin apa-apa yang berarti
kok,”
Aku tersenyum. You do everything with your heart, dan itu sangat
berarti, Bu. Tapi ya sudahlah. Aku turun dari mobil, melambaikan tangan pada Bu
Aty yang tersenyum lebar.
Liburan itu nggak harus lama. Bukan perkara lamanya, tapi buatku
cerita apa saja yang aku dapat. Aku liburan nggak sekedar jalan-jalan,
sebenarnya aku ngumpulin cerita untuk kutulis. Aku ingat, kata seorang mentor
di sebuah workshop yang aku ikuti, “Cerita itu sebenarnya ada dimana-mana,
tinggal kejelian kamu untuk mungut cerita itu,” Kota ini, memberiku banyak
cerita untuk kutulis. Cerita pertama yang kutulis, tentang seseorang yang
menerimaku layaknya di rumah : Kurnia Homestay.
Ngomong-ngomong, berapa harga yang kubayar untuk nginap dua hari satu
malam di Kurnia Homestay? Rp 200.000,- nett. Kamarnya dua bed, jadi sebenarnya
lumayan kalau punya teman travelling dan sharing cost untuk penginapan. Satu
orang kena Rp 100.000,- aja kan.
Komentar