Tulisan "Wajib" di Awal 2018
Pelabuhan Tulehu, April 2017 |
“Semoga 2018 (kamu bisa) lebih
banyak travelling. Semoga 2018 lebih banyak bisa berbagi cerita lagi,”
Dan dari semua ucapan Happy New Year yang aku terima seharian,
isi chat seorang sahabat ini terasa paling “ngena”.
If something good happens, travel to celebrate. If something bad happens, travel to forget it. If nothing
happens, travel to make something happen.
Simply, my resolution in 2018 is to travel more.
2017 adalah tahun dimana aku
melakukan perjalanan terbanyak. Bisa dibilang, tahun ini aku mulai “keracunan”
travelling.
Dimulai dari April 2017 ketika
aku melakukan perjalanan ke Ambon dan Pulau Seram. Lalu sekitar dua atau tiga
bulan berikutnya, aku pergi ke Jogja setelah lebih dari lima tahun tidak menginjakkan
kaki di kota yang katanya romantis itu. Dan selang satu atau dua minggu setelah
pulang dari Jogja, aku mulai mencoba sesuatu yang nggak pernah aku pikirkan
sebelumnya: mendaki gunung. Aku dan beberapa teman sekantor pergi mendaki
Gunung Penanggungan dengan persiapan yang nggak lebih dari dua minggu, itu juga
karena idenya datang dadakan.
Sekitar bulan September 2017, aku
pergi ke Makassar. Ide dadakan juga, dan ya... tiba-tiba ngide saja pengen ke
sana. Aku ajak adik-adikku yang langsung iya iya saja diajak liburan. Baru kali
ini, kami pergi liburan jauh bertiga. Hal yang sebenarnya aku hindari mengingat
kerjaan kami seringnya berantem dan debat.
Setelah satu kali pengalaman
mendaki gunung di Penanggungan dan drama nyalah-nyalahin diri sendiri gara-gara
capek parah, malah setelah tiba di Surabaya aku kangen naik gunung. Kangen
perasaan saat menatap pemandangan kota dari ketinggian, tidur nggak di Spring
Bed... Dan pengalaman pertama itu akhirnya ngasih aku ide buat arrange trip ke
Ranukumbolo bersama teman-teman kantor dan temannya teman-teman. Sesuatu yang
nggak pernah aku pikirkan. Mengingat sejak dulu, aku menghindar banget kalau
disuruh jadi panitia rekreasi. Nggak mau ribet disuruh ngatur-ngatur sesuatu.
Pengennya jadi peserta saja. Tinggal pergi. Itu, kali pertamaku. Aku malah
belajar banyak dan nggak keberatan buat arrange trip liburan lagi malahan.
Bulan berikutnya, aku kembali ke
Jogja dalam rangka tugas kantor. Nggak bisa dibilang liburan, ya namanya saja
tugas kantor, haha... Apalagi, bayangin lah rasanya pergi sama atasan kantor.
Tapi pengalaman yang membekas buatku, justru di malam terakhir di Jogja, aku
berhasil “kabur”, jalan-jalan menikmati Jogja di tengah malam di antara
nyanyian para seniman jalanan, ditemani secangkir kopi panas yang mengepul. Di
antara canda teman-teman perbankan.
Di awal Desember, aku kembali
lagi ke Penanggungan. Mendaki bersama seorang atasan di kantor yang memasuki
masa pensiun. Seseorang yang membuatku takjub, di umur yang nggak muda, sanggup
mendaki gunung. Dan satu lagi yang membekas, gimana saat itu pertama kali aku
mendaki di tengah badai. Ya, waktu sudah setengah perjalanan, tiba-tiba hujan
badai. Sampai aku bisa merasakan tubuhku agak sempoyongan waktu berdiri diam.
Dan kabut tebal sempat membuat aku dan rombongan agak panik. Tapi, itu
pengalaman berharga buatku. Dan nggak mau aku ulang sih. Ngapain mendaki waktu
badai, coba? Hahaha...
Dulu, aku nggak pernah berpikir
untuk bisa melakukan berbagai perjalanan ke berbagai tempat. Buat apa? Aku akan
terlalu sibuk dengan sekolah, dengan kuliah, dengan pekerjaan, dan buat apa
sering menghabiskan uang untuk membeli tiket?
Tapi dari semua perjalanan itu,
aku diajarkan untuk memiliki hati yang lebih luas. Untuk berinteraksi dengan
orang lain. Untuk selalu berani.
Aku ingat perasaan itu, ketika
aku dan Regina celingukan sendiri turun di Bandara Pattimura, trus mikir,
“Ok, kita di kota asing. Habis
ini cara kita ke hotel gimana?”
Lalu kami menyapa Nyong berbadan
tinggi-kurus yang kami temui pertama di luar pintu bandara untuk mengantar
kami. Si Nyong yang bercerita banyak tentang Ambon ke kami. Nyong yang
memberikan gambaran wajah ramah Ambon ke kami.
Berikutnya, aku jadi mengalami
banyak kejadian seperti di Bandara Pattimura itu. Ketika aku keluar dari pintu
Bandara Hassanudin pertama kali. Atau, keluar dari Stasiun Tugu pertama kali,
sendirian, jam 12 malam. Dengan ransel seadanya. Perlahan rasa takut itu
berubah jadi perasaan excited. Aku akan bertemu siapa? Kali ini aku akan
mengalami apa?
Melakukan perjalanan selalu
menarik buatku. Bukan saja ketika mengunjungi objek wisata di sebuah kota.
Ketika belum sampai pun, misalnya, saat aku di Kereta Api, atau di ruang tunggu
bandara. Kalau aku pergi sendirian, aku
suka duduk di kursi dekat jendela. Hobi nempelin kepala di jendela, trus
diam-diam tersenyum waktu pesawat sebentar lagi mau landing. Atau tulisan
Stasiun tujuanku mulai terlihat dan kereta melambat. Aku mikirin macam-macam
hal, dan tiba-tiba merasa jadi orang paling bijak sedunia.
“Aku kagum sama kamu. Kamu...
orang yang ceria, dan supel. Kamu bisa membuat orang ngerasa klop ngomong sama
kamu,” seseorang mengatakan hal tersebut padaku di 30 Desember 2017, di suatu
malam.
Yang dia tidak tahu, aku akan
berbeda, di 2016.
Perjalanan adalah cara terbaik
untuk menemukan dirimu. Melatih dirimu untuk berani, dan belajar untuk bahagia.
Aku bersyukur, tahun 2017 adalah
tahun yang luar biasa untukku.
Bukannya naif untuk bilang
melakukan perjalanan itu mudah. Butuh biaya. Dan aku sadar, aku masih staff
cupu yang nggak bisa hedon-hedon banget. Aku juga sadar, ketika dinyinyirin kok
kaya banget bisa tiap minggu update lagi jalan-jalan.
Sebenarnya gini loh, dalam
setahun aku bisa dihitung jari pergi ke mall. Kalau nggak butuh-butuh banget
beli baju buat acara yang udah ditentuin dress codenya, atau benar-benar butuh
beli sesuatu, aku malas ke mall. Lah kan ada abang gojek. Bisa beli barang yang
lebih spesifik tanpa jelalatan untuk beli-beli yang lain.
Selain itu, budget untuk makan di
cafe kekinian aku alokasikan untuk beli tiket KA. Percayalah, budget satu kali
makan di mall bisa aku belikan tiket KA PP kelas eksekutif Surabaya-Malang. Aku
juga bukan orang yang ribet soal transportasi. Aku iya-iya aja naik ojek
online, jalan kaki dari Stasiun Malang, naik becak di Jogja. Justru, aku
menikmati semua itu.
Aku sadar, tidak semua orang
punya kesukaan yang sama. Mungkin, aku adalah seorang pecinta laut dan penggila
sunset. Aku bisa berdiri di tepi pantai di Pulau Seram, sendirian, menatap
matahari terbenam dengan mata berkaca-kaca dan senyum sumringah. Sementara
sahabat seperjalananku ternyata lagi nongkrong dengan bapak-bapak tour guide di
dermaga. Tapi ketika aku mencoba melihat sunrise diantara hawa dingin
Ranukumbolo, membuatku merasakan perasaan mirip seperti di Pulau Seram pada
bulan April itu.
Mungkin, aku adalah traveller kurang
kerjaan yang penasaran pengen naik TransJogja malam-malam. Yang jalan kaki dari
sebuah warung di depan UGM bersama seorang sahabat perempuan yang sama-sama nggak
tahu ternyata tempat tujuan kami sangat jauh. Lalu kami bertemu dua pemuda di
depan UGM yang ngantarin kami ke Halte naik motor. Sambil memberikan tur
seputar UGM. Itu malam yang nggak terlupakan buatku.
Aku bukan traveller ala-ala
National Geographic. Yang siap tinggal di tempat yang benar-benar terpencil.
Aku ingat aku pernah ngomel gara-gara nggak ada sinyal buat upload foto di
Ambon. Dan sempat-sempatnya aku pakai lipstick dan bedak sebelum foto-foto di
Puncak Penanggungan.
Mungkin di luar sana ada yang
lebih suka pergi keluar negri. I can’t judge you. Nggak apa-apa. Bukannya bagus
juga melihat dunia luar? Belajar kebudayaan baru yang beda dengan Indonesia.
Itu pengalaman berharga juga, kan? Kalau aku pun punya uang lebih, mungkin aku
juga mau kok jalan-jalan keluar negri.
Untuk sementara, aku adalah
traveller yang sangat mencintai Indonesia. Dan keragamannya. Dan keramahannya.
Hi 2018, I’m ready. Semoga, ya,
aku bisa bercerita lebih banyak. Menulis tentang dunia yang lebih luas dari
sebuah kedai donat langganan di sudut kota Surabaya.
Perjalanan terakhir di 2017 |
Komentar