A Random Dialog With Mr. Uber
“Kalo Mbak-nya sekarang masih kuliah atau sudah
kerja?” untuk yang kesekian kalinya aku ditanyai pertanyaan yang sama oleh
seorang yang nggak aku kenal, yang kebetulan menjadi driver Uber yang kupesan.
“Menurut Bapak?” untuk kesekian kalinya juga aku
kembali balik bertanya. Kebiasaan. Aku pengen tahu lebih dulu apa yang orang
lain pikirkan. Tapi aku sudah terbiasa menduga, 95% driver Uber, Gojek, atau
Taksi yang menanyakan pertanyaan itu dan kemudian kutanyai balik, bakal
menjawab, “Kuliah ya, Mbak?” trus ketawa aja pas aku bilang aku sudah kerja. “Habis,
Mbak-nya kelihatan masih muda. Kaya anak kuliahan,” yang 5% malah ngirain aku
anak SMA karena di dekat kosanku memang ada sebuah SMA swasta.
Tapi jawaban Bapak driver Uber yang kebetulan ngantarin
aku pulang dari Delta Plaza ke kosan malam ini ngasih jawaban yang berbeda.
“Sudah kerja pasti,” gantian aku yang ketawa
gara-gara tebakanku akan jawaban si Bapak salah.
“Kok tumben bener, Pak? Saya sering dikira
mahasiswi, lho,”
“Yaaa... dari cara ngomongnya beda. Kalau anak-anak
kuliahan kebanyakan nggak mungkin ngajak saya ngobrol, Mbak. Mainan HP sih
kebanyakan,” ujar si Bapak sambil ngegerak-gerakkin kaca spion.
Flashback ke beberapa bulan yang lalu, seorang
driver Gojek yang mengantarku pernah ngomong gini ke aku pas tahu aku ngapain
di kota ini (Bukan menuntut ilmu karena ilmu nggak perlu dituntut – Iya, iya, garing,
maap).
“Oooh, Mbak kerja di Bank X *nyebutin tempat
kerjaku* yang di Darmo itu ya? Saya sering Mbak, ke Bank X juga, tapi yang
cabang Diponegoro buat nyetor uang perusahaan,” cerita si Bapak Gojek semangat.
“Kenal yang namanya Mbak Stella nggak, Mbak?” tanya
Bapaknya lagi.
“Nggak, Pak,” yakali Pak, luar biasa kalau aku
kenal. Sama orang yang kantornya satu gedung denganku saja nggak semuanya tahu
namanya. Apalagi yang beda cabang. Paling yang kenal dengan petugas Kas tiap
cabang. Itu juga masih banyak yang nggak ingat. Ya gitu kebanyakan orang. Kalau
aku bilang kerja di Bank X, pasti langsung nanya kenal si ini apa nggak, kenal
si itu apa nggak. Dikira karyawannya sedikit, hehehe....
“Mbak Stella tuh teller di sana, Mbak. Cuantik pool
anaknya. Ramah banget lagi. Ya... semua teller di sana ramah-ramah sih Mbak,
tapi saya paling suka nyetor di counter Mbak Stella. Mbaknya sampai inget nama
saya lho,” cerita si Bapak sambil terkekeh geli.
“Sampai saya godain lho anaknya, suka saya bilang, ‘Mbak
nggak nyium wangi-wangi ya?’ trus Mbak Stella-nya bingung. Saya bilang, ‘Iya,
nama Mbak aja Stella, pengharum ruangan, wangi jadinya,’”
Aku meringis aja dari balik helm. Garing sih. Tapi
biarlah....Dasar si Bapak.
“Apa semua yang kerja di tempat Mbak kaya Mbak
modelnya?” tanya si Bapak.
“Hah? Maksudnya?” aku nggak ngerti.
“Yaa.. ramah gitu Mbak, sama orang. Diajak ngobrolnya
enak, gitu,”
Dari dua orang asing yang kebetulan bertemu
denganku di waktu yang beda itu, aku jadi belajar tentang berharganya tanggapan
kita, cara kita berkomunikasi, dengan perasaan orang lain. Bukannya mau bilang
perusahaan tempatku kerja hebat, karyawan-karyawannya ramah semua. Karena aku
sendiri, jujur, kalau diteleponin jam tiga sore, dimana itu waktu paling hectic
dalam rutinitasku, biasanya bawaannya emosian sih. Bukannya aku bilang aku
ramah juga sih. Masih sering nyinyir kok. Tapi sama nasabah emang nggak berani
nyinyir, hahaha...
Mungkin, ini hasil dari training mahal yang dibayar
sama perusahaan. Yang ngajarin nilai customer focus. Dan customes focus kan sebenarnya
bukan dipakai di dalam lingkup perusahaan saja. Buatku, semua orang itu
customer. Customer kan macam-macam. Customer yang suka ngajak berantem ya ada.
Para Bapak-bapak driver transportasi online ini kan customer juga, gimana aku
nge-serve percakapan yang bisa ngebuat mereka... senang?
Karena manusia kadang kan perlu dianggap sebagai
teman juga. Manusia perlu dianggap ada, bukannya diabaikan, less important than
HP, Instagram dan segala macam sosmed yang kita jadikan alat kabur ketika berhadapan
dengan orang. Apalagi, orang semakin tua, semakin suka ngajakin ngobrol. Coba
deh perhatiin. Yaa... paling nggak dengerin aja mereka ngomong apa, tanggapin
dengan ketawa sopan, atau nanya balik, “Ooh iya, ya Pak?” “Masak sih Pak?” itu
akan membuat mereka senang. Siapa tahu, dari ceria mereka, kita bisa belajar
atau menemukan hal baru yang lain dibanding postingan di Instagram. Mainan
Instagram sambil nge-stalk manntannya di kosan saja, gitu.
Komentar