Face Your Fears
Kalau
dibolehkan buat nge-skip waktu, pasti sejak dulu aku sering ngeskip saat-saat
yang nggak aku suka. Hari ketika aku harus menghadapi ujian mata kuliah Audit –
salah satu mata kuliah yang paling aku benci – hari ketika sebelumnya aku
membuat kesalahan bodoh di kantor yang sukses membuat atasanku pusing dan aku
terlalu ketakutan untuk menghadapi hari esok, atau... suatu hari di tiga sampai
empat tahun lalu, ketika aku duduk di kelas 3 SMA.
Tiap
tahun, siswa-siswi di sekolahku wajib mengikuti program retret yang diadakan
sekolahku secara bergiliran per kelas. Retretnya diadain di Rumah Retret
Sawiran. Nggak ada yang salah sih dengan program retret kelas 1 atau kelas 2.
Yang 'agak bermasalah' buatku, adalah program buat kelas 3, salah satu sesinya
adalah Jurit Malam. Tau Jurit Malam tu apaan? Iya, yang bikin jerit-jerit di
tengah malam. Uji keberanian.
Bukan
cuma aku yang punya syndrome
tolong-Tuhan-aku-ga-papa-deh-sakit-mendekati-jadwal-retret-biar-bisa-bolos,
tapi sebagian besar anak-anak remaja labil teman-teman sekelasku yang agak-agak
lebay dengan gelap atau masih parno dengan hantu-hantuan. Ditambah lagi
kakak-kakak kelas kami yang dengan baik hati membagi cerita pengalaman retret
mereka ditambahi dengan bonus cerita-cerita mistis. Bahkan, teman dekatku
akhirnya pergi ke psikiater supaya dikasih surat dokter dengan keterangan fobia
akut terhadap kegelapan supaya boleh bolos retret. Dan ternyata psikiater itu
adalah alumnus sekolahku yang malah dengan semangat nasehati dia buat ikut
retret.
Singkat
cerita, akhirnya aku dan semua teman-teman sekelasku nggak ada yang berhasil
'kabur' dari program retret itu. Malam itu, sekitar jam 11 malam, sesi Jurit
Malam dimulai. Kami didata dan dikasih nomor giliran satu-satu untuk menyusuri
area rumah retret sendirian, tanpa penerangan sama sekali. Jangan tanya gimana
rasanya aku dan teman-temanku menunggu gilliran kami di sebuah ruangan yang
hanya diberi penerangan cahaya sebatang lilin, sementara sayup-sayup kami dapat
mendengar suara jeritan teman-teman kami.
Tibalah
giliranku. Aku keluar ruangan itu sendirian, memandang langit malam dan cahaya
bulan yang redup di balik awan. Belum apa-apa, karena nervous luar biasa, aku
salah jalur dan dengan bodohnya nyoba manjat dinding area yang misahin area
retret dan hutan hingga akhirnya diteriaki salah satu pengawas dan dikasih tahu
aku sudah salah jalur.
Aku
menyusuri tepian sungai, dan akhirnya sampai di mulut lorong labirin bawah
tanah. Ini yang aku paling nggak suka. Aku udah kenyang mendengar cerita para
kakak kelas dan teman-teman kelas lain yang sudah lebih dulu masuk labirin ini.
Aku mengehela napas, dan masuk ke dalam. Aku syok. Gelapnya benar-benar pekat.
Dan rasanya sesak. Aku merasakan dinginnya dinding labirin dari telapak
tanganku yang sibuk meraba-raba, nggak tahu kapan perjalanan itu akan berakhir.
Nggak tahu apa aku sudah muter-muter di tempat yang sama atau nggak. Nggak tahu
aku habis nabrak benda keras apa, hingga aku merayap menyusuri lorong, nyentuh
benda lengket apa, dan nggak tahu aku di dalam labirin berapa lama hingga
akhirnya aku menemukan cahaya redup di mulut labirin lagi. Aku keluar, menyusuri
rute yang tinggal sedikit, dan bergabung bersama teman-temanku yang telah
menyelesaikan perjalanan mereka dengan wajah kantuk subuh itu.
Pengalaman
malam itu menjadi salah satu pengalaman yang masih membekas buatku, yang selalu
menjadi penngingatku untuk nggak pernah kabur dari sesuatu yang aku nggak suka.
Karena seandainya aku nekat kabur dari program yang harus aku ikuti itu, aku
nggak akan mencoba menghadapi ketakutanku. Iya, orang-orang boleh bercerita
menakut-nakuti kita akan sesuatu. Tapi kita nggak akan tahu yang sebenarnya,
nggak akan tahu kenapa kita wajib menghadapi sesuatu, nggak akan tahu apa yang
akan kita dapatkan atau kita lewatkan bila kita ngga berani menghadapi
ketakutan kita. Kita nggak akan pernah belajar.
Akhirnya
aku di sini. Di kota metropolitan tersibuk kedua di Indonesia. Satu tahun
bekerja di sebuah bank swasta terbesar di Indonesia. Iya, masih staf. Tapi aku
tersenyum. Bukan sebuah perjalanan yang mudah. Dan aku ingat, sejak malam itu,
ada banyak hari yang aku alami, dengan perasaan seperti malam itu. Hari-hari
dimana aku ingin kabur. Dan hari-hari dimana aku akhirnya tersenyum setelah
menghadapi semuanya.
Hari-hari
tinggal di Malang, atau Jakarta, sendirian di kos dan aku beberapa kali
menangis sendiri. Hingga akhirnya ditawari penempatan kerja di Surabaya dan
berangkat ke kota ini sendirian, tanpa teman-teman sekelas. Lalu belajar di
unit kerja yang baru, kultur kerja yang beda, kesalahan-kesalahan yang aku
ciptakan... bukan hanya sekali aku benar-benar ngomong, “Tuhan, aku capek,”
sambil nangis.
Tapi
sama seperti malam di dalam labirin itu. Pilihannya, diam di tempat dalam
kegelapan sambil nangis teriak-teriak, atau berjalan terus dan menemukan akhir
dari ketakutan itu. Jujur, sekarang aku biasa aja sendirian di tempat gelap.
Kan pernah masuk ke bawah tanah sendirian, hehehe...
Komentar