Cerita Patah Hati Tanpa Hati yang Patah *kece ya judulya?*
Kita
memulainya dengan baik, dan kupikir kita mengakhirinya dengan cukup
baik juga. Sampai sekarang, aku merasa kisah kita adalah kisah yang
cukup indah. Seperti sebuah cerita novel, ketika kamu-menurutmu lho
ya-jatuh cinta pada pandangan pertama pada aku, di koridor depan
kelas X SMA kita. Lalu, cerita kita berlanjut pada kamu yang tau
namaku dari badge name di seragamku, kamu yang nanyain aku ke
teman sekamarku di asrama, chatting pertama kamu yang nanyain tentang
hobi menulisku, perkenalan pertama kita saat aku hendak ujian Bahasa
Mandarin, sampai... seorang teman asrama yang patah hati, karena kamu
menyukaiku.
Jangan
salahkan aku lho ya kalau suatu saat kamu bisa menemukan novel dengan
cerita yang persis seperti kisah kita yang ditulis olehku, hehe...
Banyak
hal yang muncul di pikiranku sekarang. Banyak kenangan yang kita
lalui bersama. Bagaimana tidak? Aku kenal kamu lebih dari lima tahun,
sejak jabat tangan pertama kita. Kita bertumbuh bersama. Dan kamu
telah menjadi rumah bagiku. Aku yang sangat tertutup dan sejujurnya
sering merasa kesepian, aku selalu punya tempat untuk mengeluh dan
bilang barusan aku nangis karena bla bla bla. Dan kamu, lewat
pesan-pesan di LINE, hampir selalu berhasil bikin aku tersenyum.
Tidak ada hari yang terlalu buruk. Because I have you.
Kamu
sosok yang sangat sempurna. Karena itu aku sangat takut kehilangan
kamu.
Sampai
suatu kali, setelah ujian akhir, aku di kamar kos. Nonton DVD Korea
yang judulnya Medical Top Team. Lalu kamu ngirim aku pesan... Kalau
kita nggak bisa pacaran lagi. Alasan kamu waktu itu, karena kita
seusia, dan kamu ragu bisa bahagiain aku karena kamu butuh waktu
lebih lama untuk menyelesaikan pendidikan kamu sebagai dokter, dan
butuh waktu untuk punya hidup yang lebih baik. Sedangkan aku? Setahun
lagi lulus dari pendidikanku dan dapat pekerjaan yang layak si sebuah
bank kece.
Ini
pertama kalinya aku cerita.. Entah kamu akan membaca tulisanku ini
atau nggak. Tapi malam itu, aku membenci posisiku. Sebagai penerima
beasiswa sebuah bank, yang cuma perlu menempuh pendidikan 2,5 tahun
selepas SMA lalu nggak perlu mikir mau kerja dimana. Aku benci karena
itu membuat kamu mutusin aku. Dan... aku ngerasain sesuatu yang baru
aku sadari beberapa minggu yang lalu. Kalau aku membenci kamu.
Mungkin kata benci terlalu keras, ya? Hmm... marah, mungkin? Tapi aku
marah pada kamu yang menyerah begitu saja, seolah nggak ada jalan
lain. Seolah kehidupan persis seperti yang kamu prediksi. Kamu hanya
bisa bahagia setelah jadi dokter. Kamu terus-terusan bilang kalau
sebenarnya kamu menyayangiku dan kita putus demi kebaikanku. Dalam
hati aku ingin teriak. Kamu. Bohong. Yang sebenarnya kamu hanya nggak
mau berusaha. Kamu takut. Tapi maaf, aku baru menyadari itu baru-baru
ini.
Cerita
berakhir dengan malam itu, dengan segala argumen dan aku berusaha
membujuk kamu, kita nggak jadi putus. Tapi bisa kamu bayangkan?
Rasanya sakit. Dan aku nangis kencang di ruang tengah kosan, ditemani
Nova yang duduk di sebelahku, ngebiarin aku nangis. Nova yang nulisin
surat 2 halaman sebagai referensi untuk ngomong sama kamu, ngebujuk
supaya kita nggak putus. Aku takut kehilangan kamu.
Lalu
setelah malam itu dan kamu tetap jadi pacarku, aku sering bilang kalo
aku menyayangi kamu. Aku selalu mendoaka hubungan kita agar kamu
nggak pergi. Tapi malam itu tetap terkenang, dan selalu ada
pertanyaan dalam hatiku, apa kamu benar-benar sayang sama aku? Apa
kamu bisa nerima kelebihan dan kekuranganku? Aku nggak ragu kalo kamu
bisa menerima kekuranganku. Kamu membantu aku memperbaiki diri. Tapi
sejak malam itu, aku sering mikir, kenapa kelebihanku... masa depanku
yang aku perjuangkan... yang ngebuat kamu mau lepasin aku? Apa kamu
sayang sama aku atau kamu terlalu mikirin ego kamu sebagai cowok?
Karena sejujurnya, terlalu banyak orang-orang didekatku, yang aku
kenal bahkan sudah berumah tangga dan akhirnya harus berpisah karena
si laki-laki nggak menerima anugerah istrinya. Nggak usah aku
sebutkan siapa.
Aku
selalu takut kehilangan pacar yang kata teman-temanku sempurna. Aku
takut rasanya sesakit dulu. Jadi aku selalu bilang, that I love you
more and more. Tapi semakin hari aku jadi sadar kalau aku sekedar
takut. Dan aku ingin merelakan rasa takut itu pergi, aku ingin
melepas kamu. Mungkin, butuh waktu bagi kita untuk menjadi lebih
dewasa.
Hanya
saja, ketika kamu mencintai seorang wanita lagi, tanyakanlah lagi
pada hatimu. Apakah kamu bersedia menerima kekurangan... dan
kelebihannya? Tidakkah kamu tahu bahwa ia bekerja sangat keras untuk
pencapaiannya?
Tapi, terimakasih untuk bertahun-tahun yang telah kita lalui
bersama. Aku jadi aku yang sekarang, nggak lepas dari kamu. Kamu
adalah salah satu kisah untuk dikenang. Aku harap kita bisa sama-sama
mengenang tanpa rasa sakit karena patah hati. Maaf.
Surabaya,
8 April 2015
Komentar
Ak doain km dpt yg terbaik sil...
Miss u :(
km ada email bca gak? kalo ada kita bs via email jg... hehhhe... biar bs panjang kalo crita...
kalo sempet ntar ak main ya ke surabaya sm malang... :)