Laugh With A Stranger
Siang
itu pertama kalinya aku duduk di kereta api. Sendirian, untuk pertama
kalinya. Aku meletakkan tas hijau army milikku di bawah kursi yang
kududuki, melepas jaket yang membuatku sedikit kegerahan, lalu
menatap keluar jendela sambil sesekali melirik jam tangan. Tiga puluh
menit lagi kereta api Bima ini akan membawaku menuju Stasiun Gambir.
Kursi di sebelahku masih kosong. Mungkin memang tidak ada yang duduk
di sana, atau mungkin baru akan diisi oleh penumpang yang baru akan
naik di stasiun berikutnya, pikirku. Aku mengalihkan perhatianku dari
kursi itu pada HP-ku, mengirim pesan singkat pada papa dan mama kalau
aku sudah duduk anteng di kereta.
Dua
puluh lima menit lagi.
Seorang
gadis berambut pendek di atas bahu berjalan ke arahku. Aku meliriknya
duduk di sebelahku. Ia tersenyum padaku, kemudian meletakkan
ranselnya. Aku balik tersenyum padanya. Aku memandang ke arah
jendela, pura-pura memperhatikan orang yang hilir mudik di luar
kereta, padahal sebenarnya aku memperhatikan pantulan cewek di
sebelahku. Hmmm… sepertinya usianya lebih muda dari aku, eh, aku
juga masih muda kok, haha... Ia mengenakan kemeja lengan pendek,
celana jeans, dan sepatu converse. Ia duduk kikuk.
“Kakak
mau kemana?” tiba-tiba ia bertanya padaku.
“Ke
Jakarta,” jawabku. “Kamu?”
“Ooh,
aku ke Surabaya,” jawab si cewek.
Aku
hampir ingin memperpanjang obrolan dengan menanyakan namanya, tapi
nggak tahu kenapa malah nggak jadi ketika cewek itu menundukkan
kepalanya dengan kikuk. Aku pikir, biarlah kami jadi orang nggak
dikenal, yang kebetulan duduk sebelahan di kereta.
Hmm…
apa saja yang aku alami sepuluh hari ini? Sepuluh hari aku ‘kabur’
dari Jakarta. Tugas-tugas yang rencanya aku selesaikan selama libur
akhirnya mesti aku bawa lagi ke Jakarta dengan belum kesentuh. Bahan
ujian yang sudah ku-copy biar gampang kubaca saat liburan, nyatanya
hanya membuat koperku berat. Yaa.. tapi biarlah. Aku menikmati
sepuluh hari ini. Kembali ke “rumah”. Melihat apa yang sudah
berubah dan belum berubah, pergi ke tempat yang belum pernah aku
kunjungi ketika aku masih menempuh SMA di kota Malang.
Kereta
mulai bergerak meninggalkan stasiun Malang. Pemandangan di luar kaca
jendela silih berganti. Beberapa kali aku melihat kepala-kepala
manusia menoleh di luar, memandang badan kereta yang melaju cepat.
Seorang ayah menggendong anaknya yang melambai-lambai pada kereta.
Aku tersenyum.
Dan
sampai beberapa jam kemudian, masih di posisi yang sama, memandang
keluar jendela. Aku sibuk menyusun rencana apa-apa saja yang harus
segera aku lakukan begitu aku sampai di Jakarta. OK, bahan ujian SPM
harus mulai aku sentuh karena begitu libur ini selesai, aku harus
menerima kenyataan kalau dosenku akan memberi ujian. Tugas, makalah…
rasanya libur memang nggak bakal cukup.
Kereta
melambat, ketika memasuki stasiun demi stasiun. Aku mengecek GPS.
Baru di Sidoarjo. Setelah berhenti beberapa saat dan beberapa
penumpang turun sementara penumpang yang baru naik, kereta kembali
jalan perlahan.
“Sek
mas, nomor berapa toh ya kita?” seorang ibu yang menggendong anak
kecil bertanya pada pria yang berjalan beberapa langkah di
belakangnya. Aku memperhatikan mereka yang makin mendekati posisiku
duduk.
“10
C D,”
Aku
melirik kursi di depanku. Aku duduk di bangku 11 C, berarti nomor
kursi 10 C dan 10 D ya yang di depanku. Si ibu-bapak yang baru datang
itu tampak bingung karena kursi mereka ditempati dua orang pemuda
yang sejak di stasiun Malang tadi duduk di depanku.
“Permisi
Mas,” bapak yang baru datang itu menyapa pemuda yang duduk di
bagian luar dengan sopan. “Mas, ini 10 C D kan ya?” bapak itu
menunjukkan tiketnya dengan hati-hati.
“Lho,”
pemuda tadi buru-buru membangunkan temannya yang duduk di sebelah
jendela. “Kita nomor berapa toh?”
Pemuda
yang baru bangun mencari-cari tiketnya. “Ini kita juga 10 C D,”
Aku
yang daritadi kepo ngeliatin jadi bingung juga.
“Sek,
bentar ya Bu,” si bapak menghilang, sementara si ibu berdiri sambil
mengelus-elus kepala anaknya.
Tak
berapa lama, bapak-bapak petugas kereta api berbaju hitam datang.
“Misi
Mas,” si bapak petugas menghampiri mas-mas yang duduk di depanku.
“Boleh lihat tiketnya?”
Bapak
petugas tampak bingung melihat nomor kursi yang ditempati mas-mas
tadi sudah benar. “Mas mau kemana, toh?”
“Sidoarjo,”
jawab salah satu pemuda.
“Lho,
ini kita udah lewat Sidoarjo,”
Aku
dan si cewek di sebelahku yang juga ternyata kepo daritadi ngelihatin
percakapan orang-orang di depan kami, tiba-tiba bertatapan. Lalu
tanpa berkata-kata, kami tertawa bersama. Ketawa karena masalah sudah
terselesaikan. Si dua mas-mas tadi pindah ke kursi lain yang masih
kosong, dengan wajah yang tidak panik biar pun mereka kelewatan
stasiun, dan ibu-bapak tadi duduk dengan tenang setelah mengucapkan
terimakasih pada si bapak petugas.
Tapi
yang membekas buatku, adalah saat aku dan cewek di sebelahku ketawa
bareng. Kami, orang yang tidak saling kenal, tidak tahu nama satu
sama lain, menyaksikan hal yang sama dan saling bertatapan lalu
tertawa. Simpel. Bagaimana kita bisa sepikiran dengan seseorang,
tanpa berkata-kata. Dan kita tahu dia juga berpikiran yang sama.
Kadang, nggak semua hal mesti diungkapkan dengan kata-kata. Setelah
itu, aku merasa orang di sebelahku bukan orang asing. Meski setelah
tertawa dan menggelengkan kepala, kami tidak berkata apa-apa.
Kereta
api berhenti di stasiun Surabaya. Cewek itu mengangkat tas ranselnya,
lalu menoleh padaku.
“Kak,
duluan ya,”
“Iya,
hati-hati,” jawabku sambil tersenyum.
Ia
tersenyum ramah. “Iya Kak,”
Dan
ia pergi, turun dari kereta api.
Kursi
di sebelahku kosong.
Mungkin,
kadang kita diijinkan bertemu beberapa orang yang memang hanya akan
menjadi orang tak dikenal. Tukang becak, penjual gorengan, pejalan
kaki yang berpapasan, dan… orang yang duduk di sebelah kita ketika
di kereta. Dan bila hidup masing-masing orang itu seperti garis,
garis kita dan garis orang itu hanya ditakdirkan untuk berpotongan
beberapa saat, dan pergi ke arah yang berbeda-beda. Tapi saat-saat
yang singkat itu, kadang bisa memberi makna. Makna kalau… kita
berbagi sesuatu dengan orang yang ga dikenal. Tertawa.
Komentar