Balada Nama
Selama satu bulan kemarin aku berkesempatan
magang di Kantor Pusat BCA, Di Biro Layanan Transaksi Perbankan Elektronik,
tepatnya di Bidang Keluhan ATM. Salah satu kerjaan yang dipercayakan ke aku
adalah neleponin kantor cabang BCA tiap pagi buat konfirmasi permintaan rekaman
CCTV di ATM yang terdapat keluhan nasabah. Dan tiap kali aku nelepon,
percakapan yang pasti terjadi adalah…
Aku: …Gini Bu, saya mau konfirmasi
permintaan kamera WSID bla bla bla..
Si Ibu/Bapak di kantor cabang (C): Oh, baik,
saya cek sebentar ya, Bu. Maaf sebelumnya, dengan Ibu siapa ya saya bicara ini?
Aku: Precill, Pak *masih senyum di telepon*
C: Maaf, siapa? *nadanya kedengaran
bingung*
Aku: Precill, *ngulang sambil ketawa getir*
C: Ng… *kedengaran ragu-ragu* Bu… Tresia?
Aku: (Dalam hati udah facepalm banget, tapi
akhirnya nge-Iya-in aja, daripada seharian ngeributin nama)
Beberapa hari pertama, aku udah pasrah aja
nyebut namaku lebih dari sekali ke lawan bicara di telepon, dan pasrah
nge-Iya-in mereka ngulang namaku dan… salah. Tapi di hari-hari berikutnya,
akhirnya aku memperkenalkan diri sebagai “Prisil” tiap nelepon cabang. Mungkin
karena nama itu terdengar familiar, dan selama ini orang sering ‘salah’ nyebut
namaku Prisil, aku nggak pernah lagi diminta nyebut namaku dua kali sama
petugas di kantor cabang.
Kata orang namaku bagus, Precillia Leonita,
mwahaha… *serius ada yang bilang gitu lho*. Dari kecil sampai SMA, aku
memperkenalkan diri dengan nama panggilan “Presy”, tanpa akhiran huruf konsonan
di belakang. Waktu masuk kuliah, aku lebih sering dipanggil “Precill”. Waktu
magang pertamakali di Kantor Pusat di Menara BCA… selama satu bulan di kantor
aku dipanggil “Sisil”. Jangan tanya kenapa deviasinya jauh gitu. Aku juga nggak
ngerti, tapi aku iya-in saja pas dipanggil gitu. Tapi nggak tahu kenapa, aku
nggak suka dipanggil Prisil, dengan huruf “i”, biar pun mirip dengan nama
panggilanku biasanya. Soalnya dulu aku suka sekali dengan namaku yang nggak
pasaran tapi mirip dengan nama yang pasaran, “Pricillia”. Beda satu huruf, dan
aku suka namaku, dengan huruf “e”.
Dan lama-lama, aku pikir biar deh siapa
nama panggilanku bagi orang lain. Yang penting aku ngeh aja kalo dipanggil.
Karena sejak SD pun, aku terbiasa ngelihat namaku salah diketik di piagam yang
aku dapat waktu naik tingkat di kursus sempoa, di sertifikat keikutsertaan
seminar, bahkan di kartu pelajar.
Dan beberapa hari yang lalu, HP-ku bunyi,
ada orang yang nelepon, dengan nomor yang belum terdaftar di HP-ku.
“Halo,” sahutku.
“Halo, selamat malam, Leonita,” sapa suara
orang di seberang. Aku ngerutin jidat bentar. Siapa?? Dan untungnya aku ingat
namaku Precillia Leonita. “Saya bla bla bla (nyebutin namanya) dari bla bla bla
(kantor yang kebetulan aku beli produknya)”
“Eh, iya, saya… Precillia,” sekedar
ngingatin kalo ni orang nggak salah nelepon.
“Oh, iya, saya panggil kamu Leonita ya,
soalnya kedengaran lebih bagus,” sahut dia ceria.
Waktu itu, aku cuma ketawa sopan saja,
dalam hati sudah teriak-teriak, “Terseraaah… terseraah…”
Komentar