“A Simple Life” – Buku Dengan Tulisan Sederhana Karya Desi Anwar yang Menjawab Pertanyaan Rumit di Hati

A Simple Life by Desi Anwar

    Entah sihir apa yang ditaruh pada tiap toko buku, karena aku selalu berhasil jatuh cinta lagi tiap melangkahkan kaki ke dalamnya. Waktu kecil, ketika masih tinggal di kota asalku – Jayapura, dimana nggak begitu banyak tempat hiburan, Toko Buku Gramedia menjadi tempat yang sangat kunanti untuk aku kunjungi. Saat itu, aku bahagia sekali kalau pulang sekolah, papa menjemput, lalu kami berdua berboncengan motor, pergi ke Toko Buku Gramedia yang berjarak seperempat jam dari sekolahku. Sampai di sana, aku akan berkeliling sampai lupa waktu, dan diijinkan membawa pulang satu buku yang kusuka.

    Toko buku menjadi tempat favoritku, dan buku menjadi kawanku. Iya, aku termasuk pribadi introvert. Sampai saat ini pun begitu. Dan kalau ada kesamaan Precill kecil dan Precill dewasa, yaitu bisa betah di kamar lama-lama.  

    Waktu berlalu, dan aku mulai menjadi pribadi yang lebih berani keluar dari ‘sangkar’ dan berkeliling Indonesia. Travelling menjadi hobiku. Menulis menjadi salah satu passionku. Topik yang bisa kutulis tanpa habis-habis, adalah tentang keindahan di sudut-sudut Indonesia, percakapan dengan orang-orang yang kutemui, dan kenangan-kenangan yang membekas di hati.

    Melangkahkan kaki keluar kamar ke tempat yang jauh dan asing menjadi hal biasa buatku. Belum lagi, kesibukan di kantor membuat mobilitasku cukup tinggi. Akhir pekan pun kadang kamarku tetap sepi tanpa penghuni. Dan waktu untuk diam di kamar menjadi sangat berharga untuk beristrirahat.

    Tiba-tiba, pandemic Covid-19 melanda. Dan aku, bersama banyak orang lain terpaksa lebih lama diam di ‘kamar’ masing-masing. Kantor tempatku bekerja pun melakukan WFH bergilir. Tadinya, kupikir WFH bisa menjadi hal menyenangkan : Bayangkan saja, bisa bekerja di tempat paling familiar. Tanpa menggunakan high heels dan gincu. Iya, aku bekerja di sektor yang mengharuskanku menjaga penampilan.

    Ternyata, seminggu pertama aku merasa sangat tersiksa. Nggak bertemu siapa-siapa, bahkan pernah aku merasa nggak mendengar suaraku sendiri. Aku tiba-tiba dilanda cemas. Kamar tidak lagi menjadi tempat yang aman. Segala pikiran menakutkan menghampiriku.

    Memasuki akhir pekan, aku merasa semakin sengsara melihat koperku teronggok. Kini koper-koperku sudah kusimpan di dalam lemari ketimbang berdebu. Aku mencari kegiatan agar tetap waras. Dan aku memilih decluttering barang. Barulah aku tersadar : Wow. Buku-bukuku jumlahnya sangat banyak.

    Buku menjadi hal yang kucinta. Tapi bukan berarti aku membaca semua. Satu lemari buku, dan ada setengah yang belum terbaca tuntas. Banyak yang masih terbungkus plastik. Aku merasa bersalah. Menjadi seorang pengkhianat. Buku kan ditulis dengan tujuan dibaca. Tapi membaca sudah bukan lagi kebiasaanku. Kebiasaanku adalah, bekerja, travelling, memotret, berkomunikasi dengan orang lain. Duduk diam dan membaca pikiran orang lain, membiarkan tulisan itu berbicara satu arah denganku, bukan lagi kebiasaanku.        

    Mencoba berdamai dengan keadaan yang memaksaku berdiam, aku memilih beberapa buku. Ragu-ragu memulai, dan sihir itu kembali bekerja. Sihir di dalam buku yang membuatku hanyut ke dalam pemikiran penulis, dan merasakan isi hatinya yang kurasa tak berbeda jauh denganku : Isi hati Desi Anwar, dalam bukunya A Simple Life, terbitan Gramedia Pustaka Utama. Buku ini ditullis dalam Bahasa Inggris, namun mudah dicerna karena tidak menggunakan kosa kata rumit, namun Bahasa sederhana yang terasa tulus.

    A Simple Life berisi kumpulan pemikiran, renungan, dan observasi Desi Anwar. Kebanyakan dari kilas balik pengalaman masa kecil Beliau, yang direfleksikan dalam pergumulan yang ia hadapi. Banyak hal yang ditulis, tidak bertele-tele, cukup singkat, dengan banyak pemikiran.

    Tentang bagaimana menjaga kesehatan mental, tentang merelakan, tentang hidup berdampingan dengan alam, serta menjaga pemikiran kita agar tetap terbuka. Siapa tahu hal-hal sederhana yang nampak jelas, tidak bisa kita lihat karena keruwetan pemikiran kita sendiri?

    Desi Anwar, lewat berbagai tulisannya, seperti menampar saya berkali-kali. Mengingatkan Precill yang kadang keras pada diri sendiri, sulit merelakan, pada Precill yang kadang lupa untuk berhenti sejenak dan menikmati waktu yang ada. Kalau aku harus menjelaskan buku ini dalam satu kata, aku memilih kata : Indah. Indah yang sederhana, namun indah yang tegas membangunkan kita pada kenyataan.

    Aku tidak merasa digurui, disuruh harus ini-itu. Siapa sih yang suka digurui? Mbak Desi bercerita dari perspektif dia, dia pun bukan orang yang sempurna. Itulah yang membuat aku relate sama tulisan-tulisannya.

    Kalimat-kalimat yang ditulis bergema di hatiku. Salah satunya yang paling kuat,

    ‘If, she said, after you did your best but still can’t get the result you want, then by all means, just change your mind about it. Who says you have to have it just because you want it? There are many other things that you can do as long as you open yourself up to other possibilities.’

(Moving On, p. 95-98; A Simple Life)

    Tulisan lain yang sangat berkesan buatku, tentang kenangan seorang anak, dan pressure yang kita – sebagai orang dewasa alami, membuat kita tidak bisa merasakan jiwa anak-anak itu lagi.

    “And when there are things you don’t understand, or don’t know how they work, as a child you’re quick to ask “how”? You don’t pretend you know something that you don’t, and you’re not ashamed of your ignorance because you know that in order not to be ignorant, the only thing you need to do is ask. Because only by asking will you find the answer.” (Being a Child, p. 25-31; A Simple Life)

    Sebagai orang dewasa, dunia terkadang terasa menakutkan. Banyak tantangan dan tuntutan untuk terlihat kuat. Padahal, dengan mata seorang anak kecil, memposisikan diri untuk selalu belajar dengan perasaan excited, dunia akan terlihat sebagai tempat yang luar biasa menarik. Jadi, ketimbang stuck dalam satu kondisi dan tekanan, mungkin kita bisa mengganti ‘kacamata’ yang kita pakai, melihat melalui mata seorang anak kecil. Tidak salah. “To be like a child is not the same as being childish, but it is to retain our natural capacity to stay curious about life and to see the world as a wonderful playground ehere we can expand our abilities to the maximum.”

    Ada yang pernah bilang, “Sebuah karya akan menemukan jalannya bertemu dengan orang yang tepat di waktu dan tempat yang tepat,” kupikir, itulah yang terjadi padaku saat buku ini bertemu denganku. Sungguh tepat, mengobati dan membuatku berdamai dengan diri sendiri dan keadaan. Serta, membuatku memakai kacamata baru untuk menghadapi dunia bersama diriku.

Komentar

Postingan Populer