Menginap Dimana?



Biarpun seorang junior di kantor suka iseng memanggilku Cici Bolang karena suka (anggaplah) pencitraan naik gunung, tidur di tenda sederhana dalam hutan, (kata orang) menyatu dengan alam, itu bukan part favoritku sih, tidur di medan seperti itu. Aku lebih milih tidur ngegulung-gulung dalam bedcover kaya lemper, di atas kasur yang empuk dan hangat. Karena tidur yang nyaman akan memungkinkan aku punya energi lebih dan mood yang bagus untuk bertualang *tsaaah*.

Jelas aku milih tidur di hotel ketimbang di tenda. Setelah kerja, frekuensi ngehotel semakin tinggi. Ngehotel yang benar-benar tidur manis di hotel, nggak macam-macam pemirsa. Sering karena acara kantor di luar kota, dan bikin bahagia karena judulnya dibayarin, dan fasilitasnya *ehem* bikin nyaman.

Pertama kali aku merasakan nginap di hotel waktu aku terpilih ikut lomba bercerita tingkat nasional ketika kelas 6 SD. Waktu itu seluruh peserta yang berasal dari luar Jakarta disediakan fasilitas tinggal di hotel berbintang (lupa bintang berapa sih, hehe). Aku ingat beberapa tahun setelahnya, hotel tersebut jadi terkenal karena.... ada seorang artis dibunuh di sana, di kamar yang satu lantai dengan kamarku waktu itu.

Beberapa tahun setelahnya, aku kembali ngerasain tinggal di hotel yang... bayar sendiri. Jadi ceritanya aku dan beberapa teman seasrama di SMA ngide ngebolang ke Bali. Kami pergi dari Malang ke Bali menggunakan mobil travel, dan tiba di Denpasar pagi hari. Celingak-celinguk di depan sebuah kesusteran. Iya, awalnya, karena rekomendasi kakak seorang teman, kami mutusin buat tinggal di kesusteran itu karena murah. Tanpa berpikir panjang, masa tinggal di kesusteran bisa keluar-keluar sampai malam sih? Akhirnya kami berlima (kalau nggak salah) ngegeret koper di jalanan, jalan kaki nyari hotel. Aku sudah lupa berapa harganya waktu itu, yang jelas sebagai anak SMA yang tinggal di perantauan dan malah iseng ke Bali, bayar iuran hotel kali itu kerasa mahal banget. Kami nginap di satu kamar, tidur di bed berlima. Empel-empelan kaya sarden.

Di tahun terakhir masa SMA-ku di Malang, papa datang ke Malang. Waktu itu aku akan dibaptis, dan mau pasang behel. Dulu aku punya dua gigi depan yang kata orang kaya kelinci, jadi aku dibujuk orang tua buat ngerapihin gigi. Tapi berhubung aku tahu pasang behel itu sakit (waktu itu gigiku dicabut dua, pakai tang) aku nunggu sampai mau kelar SMA. Nah, karena papa datang dan kami nggak punya rumah di Malang, ngineplah si papa ini di guest house deket sekolah. Aku ikutan nginep karena waktu itu janjian sama dokter giginya malam, dan kosanku ada jam  malamnya. Di situ aku ngerasa tinggal di semi-hotel (guest house sebangsa hotel, kan?) yang... yaa.. kamar mandinya cuma bisa bikin mandi dengan satu gaya saja.

Aku nggak pernah pergi ke bermacam-macam kota ketika masih kuliah di Jakarta. Paling ketika libur, aku selalu balik ke Malang. Itu pun nginep di kosanku jaman SMA. Suatu ketika, aku lupa pesan pada pemilik kosan di Malang kalau aku akan ke Malang. Jadilah semua kamar kosan full. Akhirnya aku nyari kos harian di Malang lewat Google. Tempatnya dekat Matos, tapi mesti jalan kaki 15 menit dari depan kosan, dan nggak ada angkot yang lewat.

Pelan-pelan, aku ngerasain bisa memesan hotel secara gampang. Searching lebih mudah, dan benar-benar nggak takut pergi kemana-mana, ketika sudah bekerja di Surabaya.

Suatu ketika, aku harus berangkat ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan seorang teman sekelas PPA. Acara nikahannya sudah disounding beberapa bulan sebelumnya, sehingga aku sudah pesan tiket pesawat dari Surabaya, dong. Yang nggak disangka adalah, kali itu bertepatan dengan ramenya Aksi Damai di Jakarta yang pertama kali. Berbagai isu serem beredar. Aku berencana pergi Jumat malam, sehabis pulang kantor. Dan ramai-ramai di Jakarta tersiar ke seluruh Indonesia, termasuk di TV ruangan kantor. Seharian hatiku kebat-kebit. Ini yakin nih, mau ke Jakarta di saat-saat seperti ini?

Sebelum berangkat, seorang senior di kantor mengirimiku pesan WhatsApp,

“Cil, kamu dimana? Sudah berangkat?”

“Masih di Juanda, Bu,”

“Aku lagi nonton berita, suasana di Jakarta makin nggak kondusif, kamu nggak usah berangkat saja,”

Sebenarnya aku di Bandara pun, tanpa dibilangi seperti itu sudah panik. Berhubung sudah boarding, ya mau gimana lagi. Rasanya berat saja balik ke kosan. Aura di pesawat kerasa beda. Orang-orang kelihatan banget was-was. Makin aneh suasananya waktu aku sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Aku sampai bingung sendiri. Rencananya malam itu aku nginap di kosan seorang sahabat di daerah Slipi, daerah yang katanya lagi rawan karena dekat dengan markas ormas yang lagi melakukan Aksi Damai itu. Sambil nunggu bagasi, aku nerima telepon seseorang.

“Kamu nggak usah aneh-aneh ke Slipi, tidur di Bandara saja,”

“Hah? Yakali aku tidur di Bandara. Nggak mau,” aku protes.

“Isunya bakal kerusuhan tahu, kaya Mei ‘98”

“Eh amit-amit!” aku makin kesal.

“Jadi kalau kamu di Bandara, gampang kalo ada kerusuhan. Tinggal balik ke Surabaya,”

Aku menghela nafas.

Akhirnya aku ke service information bandara, mau pesan hotel. Dan tahu? Semua hotel yang melayani penjemputan dari bandara, full booked semua sodara-sodara. Stress aku tuh. Akhirnya aku minta dicariin hotel apa saja yang sedekat mungkin dengan bandara. Nemu. Hotel Pop.

Itu pertama kali aku mesan hotel dadakan, sendirian. Nginep di hotel sendirian pula. Karena huru-hara kaya begitu. Panik kaya apaan. Dan di hotel perasaanku benar-benar campur aduk, ngunci semua pintu. Setelah cuci muka dan ganti baju, kembali HP-ku bunyi. Tahu? Aku diteleponin dilarang tidur. Takut ada kerusuhan. Lah, badan sudah capek kaya apaan, kerja dari pagi di kantor kan. Akhirnya malam itu aku bergulung-gulung di depan TV, nonton berita sampai subuh. Sampai nggak kuat dan akhirnya khilaf tidur.

Sekarang, bertahun-tahun setelah kejadian nginep pertama kali jaman SD dulu, atau pertama kali milih hotel di Bali ketika SMA, fasilitas buat mesan hotel jauh lebih banyak dan memudahkan. Iya nggak, sih? Aku dengan mudah bisa memesan kamar hotel waktu istirahat makan siang, mencet-mencet, milih-mlih, kelar.

Mau bertualang ke kota lain, nggak perlu mikir apakah punya keluarga di kota itu atau nggak. Karena, bukannya dalam perjalanan itu sendiri kita bisa bertemu keluarga baru?

Sekali-sekali biar tulisanku agak berfaedah, berikut referensi hotel yang menurutku pelayanannya memuaskan. Aku tipe yang kalau sudah ketemu satu yang bikin nyaman, nggak bakal pindah-pindah (alibi padahal sebenarnya males nyari sih haha)

Malang
Riche Heritage Hotel
Yang pertama kali nginep di sini, justru bukan aku yang bolak-balik Malang, tapi beberapa teman yang baru pertama kali di Malang dan kepo sama hotel yang kami lewati waktu mau pulang ke homestay. Letaknya strategis, bentuknya lucu, dan harganya.... manusiawi. Dan teman-teman saya yang impulsif ini langsung booking lewat aplikasi. Lah. Beberapa bulan kemudian, aku dan dua adikkku nginap di sini karena tragedi aku nggak mau nginap di kosan Grace lagi setelah dia dimarahi ibu kosannya karena kami pulang terlambat dan dia lompat pagar. Info lebih lanjut boleh klik di sini/googling yak

Ambon
Hero Hotel
Letaknya yang di tengah kota, dan restorannya, I love the food! Ikan kuah beningnya sanggup kuhabiskan sendirian. Tahu gimana aku menemukan hotel ini? Karena di tahun pertama ke Ambon, kan aku nggak nginap di hotel ini. Aku iseng ngikutin bule jalan saja kaya anak hilang, dan masuk ke restoran Patita, yang ternyata nyatu sama Hero Hotel ini. Lalu pulangnya kepo dan searching harga dan fasilitas. Klik di sini deh buat lihat-lihat

Yogya
Lina Guest House. 
Letaknya dekat Malioboro kata si Regina. Dia yang mesen waktu itu, lewat aplikasi. Nah, malem-malem aku celingukan tengah jalan, nggak nemu. Letaknya di jalan Dagen. Ternyata masih mesti masuk gang. Nggak jauh sih, Cuma kondisi subu-subuh, aku agak teler juga naik Kereta Api pulang kantor. Tempatnya bersih, dan biarpun kaya kos-kosan gitu, tapi ada beberapa spot instagramable lho.

Iya, kalau aku sendiri merhatiin, yang jadi pertimbanganku buat milih hotel tuh lokasinya. Strategis dengan pusat kota atau nggak. Kemudian yang jadi alasanku untuk mereview, adalah gimana cara para pegawai hotel itu berinteraksi dengan customer. Dan di hotel sebenarnya kita membeli kenyamaman. Kenyamanan dirawat. Iya nggak, sih?

Komentar

Postingan Populer