Bukan Cinta Pada Pandangan Pertama



Dalam beberapa tahun terakhir, Bali nggak pernah masuk dalam list destinasi pilihanku ketika liburan. Bukannya sok pengen liburan jauh melulu, tapi image Bali yang terlalu ramai dengan turis asing, serta pengalaman yang agak nggak enak ketika aku pertama kali ke Bali lebih dari lima tahun yang lalu, membuatku merasa cukup untuk melihat Bali dari kacamata orang lain dan foto-foto mereka di akun social media.

Tapi akhirnya, aku menginjakkan kaki pertama kali Bandara I Gusti Ngurah Rai akhir bulan Oktober lalu (dulu ke Bali naik mobil travel dari Malang, pantes kan ngerasa agak trauma?) untuk menghadiri event UWRF 2018 (Ubud Writers & Readers Festival) di Ubud. Pertama kali baca tulisan-tulisan tentang event ini dan liputan UWRF tahun-tahun sebelumnya, aku merasa sangat excited. Bahkan, aku mengambil cuti dua hari dari kantor, minta ijin kepala bagian sejak dua sampai tiga bulan sebelum hari keberangkatanku, dan di satu minggu terakhir aku galau. Mager banget.... nggak pengen banget ke Bali. Berhubung tiket acara dan tiket pesawat sudah di tangan, aku terpaksa pergi. Bisa kena kutuk nggak sanggup beli tiket pesawat lagi kalau aku nggak berangkat.

Pertama kali sampai di bandara, aku langsung mengernyit nggak setuju dengan tulisan yang tertera di gerbang kedatangan, The Last Paradise In The World. Ng... Pak, Bu, yang ngide bikin tulisan itu.... Okelah ya bikin sebuah slogan yang ‘wow’ buat turis-turis asing yang baru tiba di Bali. Tapi perlukah senarsis itu? Karena menurutku di Indonesia (saja) banyak banget tempat yang pantas disebut ‘paradise’. Entah karena indahnya, sejarahnya, damainya, coba sebut Pulau Seram atau Banda Naira di Maluku. Atau Raja Ampat. Atau Labuan Bajo.

Hal kedua yang bikin aku nggak betah-betah banget di Bali : aku kangen diajak ngobrol dengan bahasa Indonesia. Ketika di negara sendiri aku merasa minoritas, ya gini. Tiap dihampiri sesama orang Indonesia pun, pasti diajak ngobrol pakai bahasa Inggris. Dan selama beberapa hari di Bali membuatku PD mungkin wajahku mirip personel JKT48.

Di salah satu sesi hari pertama UWRF, aku berkenalan dengan Wina. Sesama pemegang KTP Indonesia yang sama-sama dikira bukan orang Indonesia. Aku, karena wajahku yang mirip Song Hye Kyo, dan Wina yang keturunan India.

“Bali tuh ramah buat turis asing, bukan turis Indonesia. Wong angkutan online di Ubud dilarang. Apa-apa mahal banget, Kak. Apalagi aku masih kuliah. Menurutku kalau kamu pelajar dan mau backpacker, Bali bukan pilihan yang tepat,” keluh Wina, setelah aku bercerita tentang susahnya ke Ubud dari Denpasar, yang ternyata ia alami juga.

Di samping kesulitan soal transportasi, aku juga ngerasa tambah kurus setelah lima hari tinggal di Bali.

“Aku belum menemukan makanan yang bikin aku jatuh cinta pada Bali,” curhatku pada Wina.

Sebelum berangkat kembali menuju Surabaya, aku memandangi langit Bali *tsah* dari kaca pesawat dan ngomong dalam hati : Oke, satu-satunya hal yang mungkin bakal bikin aku balik ke sini : UWRF.

Belum sampai 24 jam aku ngomong gitu dalam hati....

Hari Senin pagi, atasanku ngasih aku form kegiatan kantor di Bali.

“Mas.... kok aku sih??” tanyaku, melas.

Dalam dua minggu kemudian, aku kembali lagi ke Bali. Memang deh, hati-hati dengan ucapanmu. Dalam waktu satu bulan aku dua kali PP Surabaya-Bali, dua-duanya bukan untuk liburan.

Bali, masih sama seperti kali terakhir aku tinggalkan. Iyalah ya, cuma dua minggu. Masih panas. Masih macet. Masih bikin aku galau mau cepat-cepat kembali ke Surabaya, supaya bisa gegoleran di kamar ber-AC dan makan bebek goreng enak dan MURAH. Tapi karena aku pergi sama bosku, beliau ngajak makan di tempat-tempat mainstream yang sudah pernah kulihat di media social tapi belum pernah kukunjungi. Naughty Nuri’s, Gusto, dan aku makan sampai terharu. Ini kenapa enak banget sih.... Beliau, yang bolak-balik ke Bali juga cerita di Ubud sebenarnya banyak kegiatan seru untuk liburan. Dan kamu kemana saja sih Cil, kemarin lama di Ubud nggak kemana-mana? Ya aku jawab, aku ada acara UWRF yang sayang aku tinggal. Tiketnya lebih mahal dari tiket pesawat promoanku. Ngomong sok tegar, padahal dalam hati agak menyesal juga.

Setelah ngobrol-ngobrol dan nemu sesuatu yang bikin aku jatuh cinta sama Bali, aku jadi mikir : Oh, mungkin, ini yang namanya dari benci jadi cinta. Seperti itulah ketika kita memutuskan belajar membuka pikiran atas apa yang selama ini kita yakini. Mulai belajar menemukan hal-hal yang disukai, dan mulai jatuh cinta. Cinta memang tidak selalu romantis dan instant, yang tiba-tiba muncul pada pandangan pertama. Mungkin cinta bisa juga muncul dari keputusan untuk belajar mengenal sesuatu yang tadinya nggak masuk standar kita untuk dicintai.

Don’t judge too quickly.

Komentar

Postingan Populer