Cerita Dari Puncak Gunung Api Banda




“Saya sebenarnya iri dengan Cicil dan Regina,” Pak Bos memasukkan beberapa botol air mineral ke dalam ranselnya. Selama beberapa hari di sini, aku sudah terbiasa mendengar namaku berubah jadi Cicil. “Kalian jalan-jalan terus selama di sini, kelihatan menikmati masa muda kalian. Nah saya ke Banda, kerja terus, hahaha….” Laki-laki itu melanjutkan.

Kami kerja juga kok Pak,” kataku. “Kan kebetulan lagi cuti. Gantian Pak, kerja, lalu liburan,”

“Kan Pak Bos, ya Bos. Kami kan karyawan,” sahut Regina.

Beruntunglah aku, biarpun aku suka (sok) dramatis bilang aku stress dengan kerjaanku, perusahaan tempatku bekerja punya satu aturan yang bikin aku bersyukur : setiap karyawan wajib mengambil cuti lima hari berturut-turut. Kan kami punya jatah cuti tahunan yang beda-beda tergantung masa kerja. Sebenarnya, tujuan peraturan ini dibuat sebagai kontrol perusahaan dari karyawan yang diam-diam fraud. Kan kalau si karyawan cuti dan digantikan dengan orang lain, kalau misalnya dia curang nih, bisa ketahuan. Sekian kelas kuliah Sistem Pengendalian Manajemen-nya ya sodara-sodara, intinya, ini peraturan perusahaan yang paling aku suka dan akan aku taati.

“Sudah siap semua?” Kak Syaiful muncul dari ruang makan, meneteng dry bag pink neon-ku yang sudah terpacking rapi.

“Sudah kak. Jalan sekarang, kah?” jawabku semangat.

Kami berempat – aku, Regina, Kak Syaiful, dan Pak Bos – keluar dari Homestay Mawar sekitar jam tujuh pagi. Hari ini kami berencana mendaki Gunung Api Banda. Tapi sebelum cerita ini dimulai, biarkan aku cerita kenapa ada Pak Bos di sini. Sosok yang sampai malam terakhir aku dan Regina tinggal di Banda Neira, baru di malam terakhir kami tahu nama aslinya. Dari hari pertama kami terbiasa memanggilnya Pak Bos.

Pagi itu, di pesawat yang hanya berkapasitas 13 penumpang, seorang laki-laki berdiri kebingungan di ujung pesawat, dan akhirnya melihat kursi di sebelah Kak Syaiful – yang duduk di depanku dan Regina – kosong. Ia bertanya apa ada orang yang duduk di sana, dan kemudian ia menjadi teman duduk Kak Syaiful. Sistem duduk di pesawat ini memang nggak diatur seperti di pesawat komersil biasa. Di tiket pesawat yang kami pegang, memang nggak tertera nomor kursi. Seperti duduk di bis lah, cepat-cepatan milih posisi duduk. Selama perjalanan, Pak Bos mengobrol dengan Kak Syaiful. Aku dan Regina nggak niat mendengar, kami sibuk merekam video, dan lihatin jam. Kapan pesawat ini mendarat.

Hingga sekian menit berselang, Kak Syaiful menoleh, “Re, kamu asalnya dari mana?”

“Tegal, tapi kerja di Pekalongan,” jawab Regina.

“Ooh, sama, saya orang Batang,” laki-laki di sebelah Kak Syaiful tersenyum lebar, dan mulailah percakapan antara dua penghuni Jawa Tengah itu.

Pak Bos baru kali itu ke Banda Neira dengan misi mau merekrut ABK. Ia adalah pemilik sebuah vendor penyalur ABK ke luar negri. Makanya kami memanggilnya Pak Bos. Tubuhnya berisi, dengan perut buncit khas bapak-bapak, kulitnya kecoklatan. Duduk di sebelah Kak Syaiful membuatnya memutuskan tinggal di Homestay Mawar juga, seperti aku dan Regina. Kan, jangan meremehkan kekuatan alam. Begitu aku selalu percaya. Karena saat kita nggak tahu, asalkan kita berani ngomong, kita bakal nemuin jalan. Seperti Pak Bos yang menemukan kami.

Suatu ketika Kak Syaiful pernah berujar, “Aduh…. Ini saya perlu panggil Memet ajak Pak Bos keluar ini,”

“Kenapa, Kak?” tanyaku.

“Iya…. Dia tinggal telepon-telepon terus… Tidak tahu telepon dengan siapa. Sampai Regina bilang tidak bisa tidur,”

Aku tertawa. Pak Bos tinggal di kamar yang terletak persis di sebelah kamarku dan Regina. Dan percayalah, sampai kami terlelap, kami masih bisa mendengar suara Pak Bos, dengan logat khasnya, ngomongin bisnis, anak-anak buahnya dimana, tagihan invoice, et cetera. Tapi kami tetap ngobrol dengan Pak Bos. Makan malam di rumah, seperti keluarga, dan Pak Bos jadi bagian dari kami, lama-lama kami terbiasa.

Akhirnya setelah obrolan kemarin, Pak Bos bilang dia pengen ikut kami mendaki Gunung Api Banda. Dia pengen jalan-jalan juga. Jangan kerja terus, seperti advice aku dan Regina.

Sejak awal, mungkin aku lebih terobesi sampai di puncak dibanding Regina. Regina memang sudah mewanti-wanti, dia mungkin bakal nongkrong di Pos 1 aja, dan nitip tulisan.

Kenapa aku pengen sampai di atas? Balik ke pertanyaan, kenapa aku mau capek-capek baik gunung? Aku…. Penasaran. Simpel, alasannya penasaran, dan aku mau buktiin aku bisa lho naklukin keinginan balik. Karena sekali sampai di puncak, kamu akan kangen perasaan itu. Perasaan naklukin. Dan naklukin diri sendiri itu nggak mudah.

Untuk sampai ke Pulau Gunung Api, kami harus naik perahu kecil, bayar ongkos Rp 5.000,-. Dan nggak seperti gunung-gunung di Jawa yang ada pos penjagaannya, di sini nggak ada. Kami hanya disambut tulisan AWAS! DAERAH RAWAN GUNUNG API. Yang aku baru ngerti kenapa, pas aku udah kelar mendaki. Gunung ini berada di status Siaga 2.

Ketinggian Gunung Api Banda terletak di 656 Mdpl. Hal yang ngebuat aku sempat congkak. Aku pernah mendaki di ketinggian lebih dari itu. Yang aku nggak tahu, medan gunung api dan gunung di Jawa itu beda. Sepanjang mendaki, jalanan dipenuhi batu-batu yang rawan membuat tergelincir. Kemiringan gunung ini sekitar 60 derajat, serta hampir nggak ada Tour yang mau nemenin pendakian ke Gunung Api Banda, karena ini bukan destinasi asik. Ya kali, orang liburan kok nyari yang capek? Dan aku yang cukup aneh nyusahin guide-ku.

Regina akhirnya tinggal di Pos 1 sendiri, berbekal walki talkie, dan dia ngelaporin ngelihat burung-burung langka berseliweran, sembari aku terpeleset berkali-kali. Melewati Pos 2, aku mendaki hanya berdua Kak Syaiful. Pak Bos? Engap di tengah jalan. Dia nyuruh aku dan Kak Syaiful jalan duluan. Mukanya sudah kaya muka orang mau pingsan. Dan aku serta Kak Syaiful bilang, kemungkinan Pak Bos nyampai di puncak kecil.

Pengalamanku mendaki gunung, masih bisa dihitung jari. Bahkan jari satu tangan aja nggak nyampe. Itu pun penuh insiden engap-engapan tengah jalan, sampai akhirnya nggak sanggup bawa ransel sendiri. Dan aku masih heran aku tetap kembali. Bahkan saat mendaki hari itu pun, aku kembali nanya, mau ngapain sih? Mau mencari perasaan itu. Bukannya manusia makhluk masokis? Yang sengaja nyusah-nyusahin diri, lalu puas?

Hari itu, baru pertama kali aku benar-benar ngalamin yang kata orang, mendaki dengan medan yang membuat lutut sampai kena dagu, saking terjalnya. Aku kesal dengan batu-batu yang terus membuatku terpeleset. Tapi percayalah, capek naik gunung itu terbayar ketika kamu menatap pemandangan dari puncak.

Aku dan Kak Syaiful berhenti sejenak menyaksikan pesawat Susi Air yang take off dari Bandara. He said, “Cil, dari sekian banyak tamu yang saya bawa, kalo kita bikin persentase, hanya satu dari sepuluh orang yang bisa naik ke Puncak. Sebagian besar nyerah begitu di Pos dua tadi,” saat itu kami sudah tinggal beberapa meter dari Puncak dan berhenti karena mendengar deru pesawat. “Apalagi perempuan, hebat bisa sampai ke sini,” dia tertawa. Begitu pun dengan aku. Aku menyimpan keinginan untuk ngomong kalau sebenarnya tadi juga aku mau minta turun di Pos 2. Tapi tahu kenapa aku mengurungkan niatku? Soalnya aku nggak dikasih tahu Pos 2 dimana, coba. Sama sekali nggak ada bangunan yang nunjukin kita di pos berapa. Tiba-tiba saja aku mendapati vegetasi sudah berkurang, dan puncak terlihat. Dan semua niat itu batal.

Sampai di puncak, pertama kali aku melihat pemandangan yang berbeda dari puncak gunung di Jawa. Kalau biasanya yang kulihat pemukiman, kali ini : Ya pemukiman juga sih, dengan tambahan laut berwarna biru berpadu hijau toska, menghampar di bawah. Di sana, pulau Lonthoir, Banda Besar, dan pulau-pulau kecil lain terlihat. Bahkan Rhun dan Nailaka.

Kalau Regina punya hobi bengong di pinggir tebing, aku suka diam di puncak gunung. Dan, selalu begitu. Siapa yang nggak berpikir buat merenungi hidup ketika di puncak? Ketika kamu benar-benar merasa kecil. Ketika kamu merasa kamu benar-benar manusia yang sebenarnya lemah, dan dunia itu luas. Besar. Jauh lebih besar dari kamu. Lalu kamu mau bertingkah egois buat menguasai semua? Percuma.

“Hei! Bapak Bos sampai!” teriakan Kak Syaiful membuyarkan lamunanku.

Laki-laki berusia empat puluh tahunan, wajahnya udah kelihatan sekarat, bertelanjang dada. Tapi dia tersenyum lebar padaku dan Kak Syaiful, “Kalau saya tidak bisa sampai puncak, saya malu sama Cicil!” teriaknya dari tempatnya berdiri. “Masa saya kalah sama cewek? Sampai saya nyerah, saya langsung pulang homestay, packing, pergi dari homestay. Malu!” dan aku tergelak.

Bukan hanya aku, si anak cupu yang menginjakkan kaki di puncak dengan motivasi sederhana : aku penasaran berdiri di puncak. Si Pak Bos, juga menaklukan dirinya dengan motivasi : menyelamatkan muka dari bocah ini. Sebenarnya, kita semua hanya perlu satu alasan sederhana yang “maksa” kita untuk mencapai apa yang benar-benar kita inginkan, kan?

Pasukan Roti Goreng



***


Komentar

Postingan Populer