Gedung dan Bangunan yang Membisikkan Sejarah Dalam Diam


Gunung Api Banda, dari Benteng Nassau
 Di mataku, pulau ini seperti dijaga oleh sosok dewa raksasa. Dan wujud dewa itu adalah Gunung Api Banda. Dari sudut mana pun di pulau ini, gunung ini terlihat megah berdiri di atas Laut Banda. Dalam perjalanan dari bandara menuju Homestay Mawar pagi itu pun, mataku terus menatap lekat si Gunung Api. Penasaran. Seperti apa rasanya..... berdiri di atas sana?

Aku sampai di Homestay Mawar sekitar 10 menit kemudian. Selama perjalanan, aku tahu, mustahil menemukan macet di kota ini. Mobil sih ada, tapi jumlahnya sangat terbatas. Pemiliknya hanya instansi pemerintah, PLN, dan satu orang terkaya di Banda Neira. Kendaraan yang sehari-hari digunakan oleh penduduk adalah sepeda motor, atau, kaki sendiri. Lagipula orang-orang akan lebih memilih punya speedboat dibanding mobil.

Homestay Mawar sebenarnya adalah rumah Kak Syaiful yang sejak tahun 1991 sudah menjadi Homestay tempat para turis internasional mau pun domestik menginap. Itulah sebabnya aku ngerti, kenapa si Kakak dan bahkan Kakek kok nggak kagok ngomong pakai bahasa Inggris.

Tempat ini, dalam waktu singkat terasa seperti rumah buatku dan Regina. Ketika ada yang bilang, Home is where yourt heart is, bolehkah aku nambahin, rumah adalah tempat dimana hatimu berada, dan tempat yang nyajiin teh kayu manis hangat serta bika kenari lezat ketika kamu pulang? 

Teh Kayu Manis dan Bika Kenari
  “Tarik nafas dulu, baru habis itu kita city tour,” Kak Syaiful duduk di depan kami berdua yang sibuk ngunyah Bika Kenari buatan mama Kak Syaiful. Sebenarnya kami diberi sekotak kue oleh maskapai Susi Air selama penerbangan tadi. Tapi sangat tidak menarik untuk dimakan, bukan karena nggak enak, tapi karena makan di penerbangan yang ‘nggak biasa’ tadi bukan pilihan menarik.

Setelah agak ‘kalem’ dan ganti baju, aku, Regina, dan Kak Syaiful keluar dari Homestay, memulai city tour.

Dalam balutan pembangungan yang terjadi selama puluhan tahun, jejak-jejak sejarah masih terlihat jelas di seluruh penjuru kota ini. Aku seakan memasuki film tentang sejarah Indonesia. Beberapa meter dari Homestay, kami sudah sampai di Istana Mini, tempat kediaman gubernur jenderal VOC.

Berjalan lebih jauh, masih ada rumah pengasingan Bung Hatta selama di Banda Neira, yang terletak persis di sebelah rutan. Jujur, pelajaran Sejarah bukan pelajaran favoritku sejak SMP hingga SMA. Karena aku sulit mengingat nama-nama orang dan tahun kejadian. Aku hanya tahu : Indonesia pernah dijajah Belanda 350 tahun dengan kejam. Tapi yang membekas di hatiku, ketika aku menyaksikan saksi-saksi bisu kekejaman itu sendiri.

Kami tiba di Parigi Rantai. Tempat pembantaian 40 orang pemuka adat dan orang penting di Banda Neira, oleh VOC. Banda Neira merupakan penghasil utama pala, komoditas yang membuat bangsa ini betah menjajah Indonesia sebegitu lama. Sebenarnya dulu tuh Banda sudah berdagang pala dengan pedagang Cina dan Arab. Tapi fair gitu. Ketika mereka memberikan pala, para pedagang Cina dan Arab memberikan keramik, dan barang berharga lain sebagai alat tukar.

Masalah terjadi ketika di Eropa, pala itu harganya sangat mahal. Tapi itu satu-satunya cara agar orang Eropa dapat bertahan hidup di tengah musim dingin dengan tidak mati kelaparan karena persediaan makanan mereka tidak membusuk. Dulu kan belum ada kulkas. Dan pala satu-satunya yang dapat membuat makanan awet. Selain itu, pala juga digunakan sebagai jimat ketika ada wabah Black Death mematikan di Eropa sana.

Bangsa Eropa mulai penasaran nih, darimana sumber tanaman ajaib ini? Mereka berlayar selama satu tahun hingga akhirnya mencapai Banda Neira. Dan, secara rakus, ingin memiliki seluruh pala di Kepulauan Ini. Dan ketika muncul perlawanan, VOC menangkap 40 orang pemuka adat dan orang penting pulau ini, membantai, memutilasi mereka, dan kepala orang-orang ini ditusuk tombak dan diarak kelling pulau untuk menyebarkan teror. Agar tidak ada lagi perlawanan. Sementara potongan tubuh orang-orang ini dibuang di sumur yang disebut Parigi Rante. Baru kali ini aku benar-benar paham akan sejarah bangsa ini. Diam-diam, aku merasakan kengerian dulu, ketika melihat salah satu lukisan pembantaian yang disimpan di musium Banda Naira. Yang memutilasi orang-orang Banda ini adalah para Ronin (samurai tak bertuan) yang diupah Belanda.

Kak Syaiful bercerita, banyak orangn Belanda yang datang ke pulau ini. Dan ketika ia ajak ke Parigi Rante, menceritakan sejarah, orang-orang ini termenung. Ya, memang harusnya begitu, kan? Yang lalu memang sudah berlalu, katanya. Tapi sejarah bukan untuk dilupakan, agar kita bisa belajar, dan tak membiarkan mereka yang telah gugur meninggal sia-sia, kan?

Satu pertanyaanku, kenapa manusia bisa seegois itu?

Semakin jauh kami berjalan, kami tiba di Kampung Cina.

“Ini pasti yang namanya Regina,” seru seorang laki-laki berperawakan kurus dan bermata sipit.

Kami bertiga berhenti. Regina ekspresinya kaget dan sukses membuat aku tertawa tebahak-bahak.

“Hayo loh, Re,” ujarku.

“Lho lho, siapa ya?” Regina bingung. Wong belum pernah ketemu kok. Baru saja beberapa jam nyampai di pulau ini.

“Ini pasti yang namanya Precillia,” gantian aku melongo.

“Siapa, Kak?” aku nanya Kak Syaiful takut-takut. Bodoh banget sih, ngapain juga takut, ya? Tapi yaa... syok aja, tiba-tiba ada yang tahu nama kami di Pulau ini. Kami kan bukan artis. Selebgram juga bukan. Hanya dua bocah yang rajin nyampah di Instagram.

Laki-laki itu bangkit dari tempat duduknya di sebuah tempat Foto Copy yang terbuka menghadap jalan. Ia menyalamiku, “Lukman,” otakku berputar mencari-cari ‘arsip’ Lukman. Oh!

“lookman_alibaba?” aku menyebut akun Instagram-nya. Aku ingat aku pernah menulis tentang Maluku, dikomen, dan ditanyai si Lukman ini, Kapan ke Banda? Dan hari ini kami bertemu.

“Kok bisa tahu, sih?” Regina heran.

“Ya... kan ini kota kecil, Re. Ada orang baru, pasti tahu Re,” Kak Syaiful tertawa.

“Akhirnya sampai juga ya, di Banda,” Lukman tertawa. Ia sukses membuatku dan Regina terkejut.

Kota ini, kota kecil sederhana yang penuh dengan kejutan.

Komentar

Postingan Populer