Moments To Remember In Seram Island
“Liburan nanti enaknya kemana, ya?”
Travelling seperti menjadi gaya hidup. Kita
berlomba-lomba mengeksplor tempat-tempat baru, atau, penasaran mengunjungi
tempat-tempat yang sering direview di situs-situs travelling. Liburan itu baik.
Kabur sejenak dari rutinitas yang mungkit membuat penat, mungkit dapat
merecharge tubuh dan pikiran.
Pergi ke luar negri sudah bukan hal yang istimewa
lagi sebagai pilihan tempat liburan. Namun, mengapa ke luar negri jika di
Indonesia sendiri masih banyak surga-surga yang bisa dieksplor? Salah satu
surga itu adalah sebuah pulau di Timur Indonesia. Pulau Seram, Provinsi Maluku.
Saya adalah seorang banker, bersama seorang sahabat
yang tiba-tiba dapat ide ke sebuah tempat yang terpampang di foto kalender
kantor, kami punya ide gila: Mengisi cuti wajib lima hari ke Pulau Seram.
Berdua. Dan kami sama-sama belum pernah menginjak tanah Maluku. Hanya berbekal
nekat, dan searching berbagai referensi di Internet. Tapi, bukannya hal-hal
yang kita banyak nggak tahunya itu yang seru?
Aku dan Regina berangkat dari kota Surabaya tanggal
17 April menuju kota Ambon. Perjalanan Surabaya-Ambon memakan waktu kurang
lebih dua jam. Pesawat tiba di Bandara Pattimura Ambon. Begitu turun dari
pesawat, hawa yang beda langsung menerpa. Iya, Surabaya memang panas. Tapi
panasnya Ambon beda! Kami lari-lari masuk ke ruang Bandara karena Regina
kebelet ke toilet.
Keluar dari Bandara, sudah banyak para
“Nyong’-sebutan untuk pria di Ambon-yang menawarkan jasa taksi. Kami dikenakan
tariff Rp 150.000,- untuk diantar dari Bandara ke Hotel yang telah kami pesan
di aplikasi online. Kami menginap satu malam di Ambon, di Hotel LeGreen Suite
di Jalan Sam Ratulangi. Harganya cukup murah, dengan fasilitas kamar yang cukup
lengkap, serta pemandangan yang langsung menghadap Pelabuhan Ambon. Dari kamar,
aku dan Regina sibuk mengabadikan Sunset yang tenggelam di antara kapal-kapal
yang sedang barlabuh. Pun, lokasi hotel ini cukup strategis.
Siang itu, begitu selesai naruh koper di hotel, kami
segera keluar dari hotel untuk mengisi perut yang berteriak. Kami menuju sebuah
gang persis di depan Matahari mall, yang dikenal dengan “Lorong Asap” karena
lorong tersebut penuh dengan warung-warung yang menjual ikan bakar. Aku dan
regina berhenti di warung pertama, Rumah Rakan Pukat. Kami memesan seekor Ikan
Merah, lengkap dengan sambal colo-colo. Dan untuk ikan Merah super lezat
seberat 1 Kg, kami cukup membayar Rp 50.000,- sebuah harga yang menurut kami
sangat wroth it dengan lezatnya makan siang pertama kami.
Perut terisi, kami berjalan kaki ke Gong Perdamaian
yang terletak tak jauh dari Hotel.
“Re, ini kita masuk ke sana
bagaimana caranya?” kami berdua berdiri di depan pintu masuk yang terkunci.
Tidak jauh dari tempat kami berdiri, segerombolan pemuda berdiri di depan
pagar.
“Lompat saja, Nona!” teriak salah
satu dari mereka.
“Hah? Lompat? Nggak ada penjaganya,
gitu?” sahut Regina.
“Ah, di sini memang selalu dikunci
(pagarnya)” sahut seorang Nyong dari rombongan tadi. Tinggi pagar pembatas yang
terbuat dari besi itu memang tidak sampai sepinggang. Tapi tetap saja, aku dan
Regina merasa guilty buat ngelompatin
pagar. Kan pagar dibuat tujuannya biar orang nggak bisa masuk, dong?
“Trus buat apa ada pagar kalau
nggak ada yang bukain?” aku masih belum terima.
“Ya... biar tamannya tidak rusak,”
sahut Nyong tadi.
Aku dan Regina pandang-pandangan
ragu sebentar.
“Ayo wes,” Regina akhirnya langsung melompati pagar. Dan langsung aku
susul. OK, barusan beberapa jam sampai di kota orang, sudah pakai acara
ngelompatin pagar taman.
Baru saja kami
berdiri cantik di depan Gong Perdamaian, hujan mendadak
mengguyur. Akhirnya kami berlari-lari memanggil becak, dan minta diantar ke
Petak 10, sebuah pusat oleh-oleh di kota Ambon. Kenapa kami memutuskan membeli
oleh-leh di hari pertama? Karena di Pulau Seram – destinasi kami berikutnya,
tidak ada yang jualan oleh-oleh. Oleh-oleh khas kota ini adalah Roti Kenari,
Minyak Kayu Putih, serta aksesoris dari besi putih.
Karena selama tiga hari berikut kami akan pergi ke
pulau Seram dan agak repot untuk membawa semua oleh-oleh itu, akhirnya kami
mencoba menitipkan ke hotel. Ternyata di sana mau, dan kebetulan sepulang dari
Pulau Seram kami akan menginap di sana selama semalam sebelum kembali ke
Surabaya.
Sebelumnya, aku dan Regina sudah memesan paket
menginap di Ora Beach Eco Resort. Paket yang ditawarkan cukup lengkap, dan
sangat membantu, karena pihak resort sudah menyiapkan akomodasi dari kota Ambon
hingga sampai di Resort.
Pagi itu jam 07.00 WIT kami dijemput dengan driver
Ora. Seorang Nyong seusia kami, yang menariknya mobilnya plat N, Malang, Jawa
Timur. Iseng aku berceloteh,
“Nyong, saya jauh-jauh dari Surabaya, ketemu mobil
kok plat-nya N?” si Nyong tertawa, dan bercerita memang, kalau mau murah beli
kendaraan di Jawa saja. Biarpun sudah ditambah ongkos kirim, asuransi dan
segala macam, jatuhnya memang lebih murah.
Setengah jam dari kota Ambon, kami sampai di
Pelabuhan Tulehu. Di sana, seorang pegawai Ora yang lain telah menunggu kami.
Seorang Nyong ramah yang dengan sigap membantu dua ciwi-ciwi bank yang biasanya
keliaran di kantor ini naik ke kapal. Kami telah dibelikan tiket kapal VIP,
dengan kapal Torpedo Cantika. Perjalanan dari Pelabuhan Tulehu ke Pelabuhan
Amahai akan memakan waktu dua jam. Awalnya, aku dan Regina sudah berpikir pasti
akan sangat melelahkan. Kapalnya nggak nyaman. Terombang-ambing di laut.
Nyatanya, kapalnya cukup nyaman, dengan AC dan toilet. Memang, harga tiket VIP
dan ekonomi beda Rp 150.000,- namun kami sarankan, pilihlah VIP jika kami belum
terbiasa naik kapal, apalagi perjalanannya jauh.
Dua jam berlalu, sampailah kami di Pelabuhan Waisai.
Di sana kami kembali telah ditunggu seorang pegawai Ora Beach Eco Resort, yang
kemudian membawa kami dua jam dengan mobil sampai di pelabuhan speedboat. Nyong
Muhaimin-kami memanggilnya-sangat ramah. Dengan semangat ia menceritakan
pengalamannya mengantarkan tamu-tamu Ora Beach Resort, hingga tim salah satu
acara travelling ternama. Dua jam tak terasa, hingga kami sampai di pelabuhan.
Speedboat telah menunggu kami, dan lima belas menit terakhir, kami terpukau
dengan pemandangan menakjubkan. Bukit, laut, dan langit, membentuk lukisan
raksasa yang membuat kami tak berkedip.
Pemandangan senja dari kamar |
Hari pertama di Ora Beach Eco Resort kami gunakan
untuk main-main air di dermaga. Ya, airnya seperti kaca! Kami-dua anak kota
yang biasa liat ikan hidup di aquarium kantor, kegirangan sendiri melihat ikan
berenang lindah di antara kaki kami. Bahkan, bintang laut dan ikan pari pun
berenang di bawah kaki.
Hari kedua kami menjelajah Pulau Tujuh dan Mata Air
Belanda. Yang unik di Mata Air Belanda, mata air ini berada di tengah laut yang
airnya hangat, namun dari mata air ini airnya sangat dingin, serta tawar! Kami
berdua iseng meminum air langsung dari mata air ini dan rasanya tawar! Karena
hujan, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke resort.
“Memangnya apa sih istimewanya Mata
Air Belanda? Bertuah gitu kah airnya?” aku bertanya pada Pak Boby, guide kami
selama di Pulau Seram.
“Dulu yang menemukan mata air itu
orang Belanda,” jawab dia kalem.
“Aduh.... bukan cerita kaya gitu,”
aku malah protes sambil tertawa. Maklum, kebiasaan baca cerita-cerita mistis di
LI*E T*DAY.
“Trus cerita yang kaya bagaimana,
Nona?” Pak Boby tertawa.
“Ya... misalnya kalo minum air di
sana bisa jadi cantik, cepat kaya, atau apa gitu,” kataku.
“Atau dapat suami,” sambung Regina.
Pak Boby tertawa.
“Oh,” mungkin dalam hati dia
menertawakan dua ciwi-ciwi Jawa yang katanya tinggal di pusat pendidikan
Indonesia, tapi masih berharap hal-hal seperti itu. “Ada beberapa orang cerita
keinginan mereka terkabul habis minum di sana. Tapi kan tergantung
masing-masing orang. Percaya tidak percaya,”
Mata Air Belanda terletak di
Tanjung Harapan atau yang dalam bahasa setempat disebut Tolon Alata. Nah, di
sana terdapat sebuah ayunan sederhana yang talinya diikat di pohon yang tinggi
banget. Jarak antara pijakan kaki dan ayunannya tinggi banget, dan di bawah
ayunan terdapat kubangan air. Nggak istimewa sih ayunannya. Yang istimewa itu
keisenganku dan Regina yang ngotot mau main ayunan itu, sampai minta digendong
Pak Boby biar bisa berayun sebentar, lalu jerit-jerit gara-gara bingung
turunnya bagaimana.
Pemandangan di Laut Seram |
Hari ketiga, kami pergi ke Tebing Batu Saleman.
Tebing batu menjulang tinggi eksotis, persis latar film Jurassic Park.
Sebenarnya sepintas, kami pikir tempat ini mirip Phi Phi Island. Versi
Indonesia, versi sepi. Saking jernihnya
air, aku minta supaya speedboat dihentikan di tengah laut. Niatnya sih mau foto
di atas air sambil telentang di kasur angin yang aku bawa.
Saat kapal sudah ditambatkan dan
kasur angin sudah aku lempar keluar kapal, Nyong guide kami hari itu nanya
pertanyaan sepele tapi penting banget ke aku, “Nona, memangnya Nona bisa
berenang?”
“Hah?” aku memandang si Nyong dan
air bergantian. “Nggak,” jawabku polos. “Memangnya mesti bisa berenang, ya?”
tanyaku. Masih polos. Regina diem aja ngelihatin aku dan ikan-ikan yang
berenang di bawah kapal.
“Ini dalam lho, Cil. Itu di bawah
banyak bulu babi juga,” komentar Regina. “Aku pokoknya nggak mau turun, ah,”
Aku mulai ragu. Tapi demi foto
instagramable, akhirnya aku tetap minta turun.
Waktu aku baring di kasur angin,
ombak membawaku menjauh dari kapal. Dan aku jerit-jerit panik. Apalagi waktu
noleh dan ngelihat di bawahku banyak batu karang, dan warna laut mulai gelap
pertanda aku terseret ke bagian yang lebih dalam.
“NYOOONG! Help me!” jeritku.
“Bentar Cil, katanya mau difotoin?”
dan Regina malah sibuk memotretku dari atas kapal, sampai akhirnya si Nyong
mulai menyalakan mesin speedboat dan menyeretku naik dari air sambil tertawa.
Aku dan Regina di Tebing Batu alias Jurrasic Park ala-ala versi Indonesia |
Kami agak terburu-buru pulang ke Resort karena
mengejar kapal yang akan berangkat menuju Ambon.
Selama perjalanan di Speedboat, kami tidak bisa
melepaskan pemandangan Taman Nasional Manusela yang seolah menarik hati kami,
tidak mengembalikannya. Kami meninggalkan hati kami di sana. Sebuah Surga kecil
di Pulau Seram.
Bagaimana hal sederhana : seperti ikan yang enak,
dapat membuat kita bersorak gembira. Bagaimana ikan yang melompat bebas seolah
bahagia dapat membuatmu tergelak. Bagaimana kami menyaksikan semua hal baru itu
dengan jiwa seperti anak kecil yang terpesona.
Bagaimana seluruh perjalanan ini dapat kembali
membuat hatimu kuat. Dengan semangat yang sederhana saja: Kamu ingin melihat
surga-surga lain, sebelum kamu pergi ke surga terakhir. Dan kamu ingin bahagia
tiap harinya. Kamu hanya ingat hal-hal membahagiakan itu. Bagaimana matahari
pagi menyambutmu. Bagaimana ikan-ikan bergerak lincah, seakan mengajakmu
bermain. Bagaimana air laut membasahi kakimu, tubuhmu. Bagaimana bukit-bukit
yang menjulang, seakan menantangmu; apakah hatimu sekuat mereka?
Dan perjalanan ini benar-benar berarti. Bukan hanya
pajangan foto, tapi cerita yang terukir di hati, dan perasaan yang tetap
membekas. Kerinduan itu, untuk datang kembali. Ya, suatu saat, aku akan
kembali.
Komentar