A Man In The Train




Aku cukup tahu, setelah berkali-kali naik transportasi umum sendirian kemana-mana, berkali-kali ketemu orang asing, berkali-kali ngobrol basa-basi, pertemuan kita dengan seorang yang tak dikenal pasti akan berakhir, bersama berakhirnya perjalanan. Tapi sore itu aku bertemu dia. 11 Juni, sekitar pukul 18.00 WIB.

Akhir minggu aku suka menghabiskan waktu di kota Malang. Naik kereta pukul 06.20 WIB dari stasiun kereta Surabaya Gubeng, lalu balik lagi naik kereta dari stasiun Malang Kota Baru pukul 16.30. Nggak berasa terlalu capek, dan nggak merogoh kocek sedalam dibanding kalau aku berkeliaran di mall-mall di Surabaya. Kan horor. Suka nggak tahu diri sama saldo ATM soalnya. Refreshinng sebelum memulai hari-hari kerja buatku cukup efektif. Hati yang bahagia kan membantu menaikkan kualitas bekerja. Ya nggak, para Boss Boss? Kalau gitu tambahin dong jatah libur karyawannya.

Kali itu, kereta mulai mendekati Stasiun Surabaya Wonokromo. Papan penunjuk yang hijau-hijau mulai terlihat dari jendela. Aku memang punya kebiasaan memesan kursi di samping jendela. Dan suka nempelin kepala di jendela kalau kepo mau lihat apaan di luar. Seorang laki-laki berkacamata menutup pintu gerbong. Ia duduk di kursi seberangku. Jadi kan aku duduk di kursi 14D, kursi 14C kosong, dan dia duduk di kursi 14B.

“Mau turun di (stasiun) mana?” dia membuka obrolan.

Kereta yag aku tumpangi saat itu adalah KA Mutiara Selatan, dengan tujuan akhir Bandung. Baru kali ini aku naik KA Mutiara Selatan buat balik ke Surabaya. Biasanya aku menumpangi KA Bima, yang jadwal berangkatnya lebih cepat dua jam. Hari itu kebetulan lagi pengen rada lamaan di Malang.

“Surabaya, di Gubeng,” jawabku.

“Naik dari (stasiun) Malang?” tebaknya. Aku mengangguk, tersenyum. “Sama, saya juga. Dari Malang dan mau turun di Gubeng juga,”

Dia kembai bertanya. Aku jawab. Dia cerita. Aku cerita. Tentang banyak hal.

“Namaku,” dia mengulurkan tangan, menyebutkan namanya sambil tersenyum, dan aku pun melakukan hal yang sama. Dan aku tahu perjalanan ini akan berakhir kurang dari tiga puluh menit lagi. Dari sekian banyak pertemuan dengan strangers, hampir nggak pernah aku tahu nama lawan bicaraku pada akhirnya, bahkan sampai kami benar-benar berpisah. Lagian, buat apa juga? Kita hanya orang asing, yang kebetulan hidupnya saling bersinggungan beberapa saat, ditakdirkan cuma untuk saling bertukar sapa.

Tapi sore (menjelang malam) itu, cerita menjadi lain.

“Thanks for your time, Precill. Can I have your number?” dia menyodorkan telepon genggamnya.

Karena kereta mulai berjalan lambat, dan akhirnya benar-benar berhenti. Dan kami masih duduk berseberangan, dan bukan lagi orang asing.

Kita hanya nggak pernah tahu.

Komentar

Postingan Populer