Apa Kabarmu Dalam Satu Tahun Ini?


 
 
Mei 2015, kembali aku harus merasakan migrasi ke sebuah kota yang baru. Pindah dari sebuah kota yang telah menjadi 'rumah' buatku selama tiga tahun. Pindah dari sebuah kebiasaan, ke sebuah tempat yang sama sekali nggak aku kenal. Emm... ralat. Mungkin 'agak' kenal. Sedikit. Setelah menyelesaikan pendidikan Akuntansi-ku di BCA Jakarta dan segala macam bujuk-rayu-permohonanku kepada PIC-ku supaya diberi penawaran kerja di BCA Malang atau BCA Jakarta nggak dikabulkan, aku akhirnya menerima penawaran kerja di Kantor Wilayah III BCA, di Surabaya.



Aku memang pernah beberapa kali ke Surabaya selama menempuh pendidikan SMA di Malang. Tapi, Surabaya nggak pernah menjadi tempat yang tertarik untuk kujelajahi, untuk kutinggali. Surabaya selalu menjadi tempat lewat, tanpa ada keinginan untuk kusinggahi. Bisa dihitung jari sih frekuensi aku ke kota ini. Sekedar lewat untuk ke Bandara Juanda kalau aku mau pulang ke Jayapura, waktu lomba di sebuah universitas swasta di Surabaya, atau waktu nyari gaun buat acara prom night.



Setelah hari pengumuman penawaran kerja dari BCA, aku dan semua teman-temanku punya waktu nggak sampai 1 bulan untuk mengurus dan merencakan kepindahan kami. Beruntung untuk teman-teman yang memang mendapat penawaran kerja di kota asal mereka, atau pun di Jakarta. Sedangkan aku dan sebagian teman-temanku yang dapat penawaran di kota random, sibuk mikir ini nyari kos di mana, kantor kami juga nggak tahu dimana.



Di antara teman-teman seangkatanku, hanya aku yang memilih cara ini: meng-googling tempat kosan di daerah yanga 'katanya' dekat kantor, searching lewat google map, dan dalam beberapa hari kemudian mulai menghubungi nomor yang tertera di internet, dan nekat mengirim barang-barang pindahanku ke alamat kosan yang sudah aku pilih. Tanpa tahu bentuk asli dari kosan yang akhirnya kubayar depositnya duluan. Dan hanya aku yang nggak dijemput siapa pun di Bandara ( akibat PIC-ku kelupaan menjadwalkan namaku untuk dijemput oleh orang BCA setempat ), celingak-celinguk dengan baterai HP sekarat dan nggak punya power bank, lalu akhirnya mesan taksi bandara dan ngandalin alamat yang kudapat di internet supaya si sopir taksi membawaku ke alamat kosanku.



Aku ingat hari itu. Sore itu, ketika akhirnya aku sampai di sebuah rumah besar berpagar cokelat. Lalu pemilik kosan yang menunjukkan kamarku, membantuku mengangkat barang-barangku. Aku lega. Banget. Karena paling nggak, kekhawatiran terbesarku kalau aku tertipu dengan info di internet itu nggak benar nggak kejadian. Tapi kan aku nggak punya pilihan lain. Sebenarnya aku punya beberapa kakak kelas yang aku tahu juga bekerja di BCA Kanwil III. Tapi ya... nggak enak saja minta tolong mereka setelah semasa pendidikan aku sama sekali hampir nggak pernah ngobrol dengan mereka. Siapalah aku... adik kelas dari mana. Haha...



Siang pertama di Surabaya kemudian aku habiskan dengan jalan kaki dari kosanku, nyariin kantorku dimana dengan nanya-nanyain orang di jalan, dan terpaku setelah berdiri di sebuah bangunan tinggi penuh kaca berwarna biru di samping Jalan Raya Darmo. This is my life, starts here. Iya, lebay. Tapi aku tiba-tiba teringat juga, waktu aku dan Nova-teman sekelasku semasa PPA-survey BCA Kantor Pusat di Grand Indonesia itu dimana gara-gara kami akan memasuki masa OJT kami yang pertama. Persis yang saat itu aku alami sendirian. Berdiri di depan kantor, membayangkan dalam beberapa hari ke depan aku akan bekerja di sana.



Akhirnya aku iseng melangkahan kaki menuju hall ATM, lalu disapa bapak satpam random yang nanyain aku mau ngapain. Mungkin karena saat itu aku persis anak hilang: pakai kaos merah alakadarnya yang baru kukeluarkan dari koper, dan celana pendek tanggung yang terakhir disetrika waktu aku di Jakarta. Satpam yang kemudian hampir tiap sore manggil aku, “Pulang, Ce Precillia?” Lucu ketika mengingat saat-saat pertama itu.



Benar kata sebagian besar orang. Semakin lama, kita akan merasa waktu bergerak semakin cepat, seakan berlari. Dan tiba-tiba aku sudah menerima bonusan pertamaku sebagai karyawan BCA, tiba-tiba sudah akan menerima THR lebaran yang kedua pula. Tiba-tiba, Surabaya sudah menjadi rumahku. Rumah baru. Ketika aku sudah berani duduk sendirian di sudut kota ini sendirian. Mengerjakan tugas kuliah, tugas kantor yang kusambi, menulis... atau sekedar duduk random minum kopi dan makan sepotong donat sambil membaca notesku.



Di biro tempatku bekerja sekarang, saat ini akulah staf termuda di sana. Dan beberapa karyawan yang sering berhubungan kerja denganku, memanggilku dengan panggilan “si Kecil” ketika mencariku di telepon. Karena memang aku lebih muda dibanding mereka. Dan beberapa rekan kerja pernah menanyakan kenapa aku berani untuk tinggal di sebuah kota, sendirian. Ketika aku lulus SMP dan melanjutkan SMA di Malang, di asrama. Atau ketika aku mengambil beasiswa PPA BCA dan pindah ke Jakarta. Saat itu aku pindah sendiri. Naik taksi sendiri. Dan tiba di Jakarta dengan perasaan kosong. Pun ketika akhirnya aku sampai di Surabaya dengan perasaan yang sama. Aku sendirian.



Tapi, bukankah itu seninya? Seni sebuah hidup. Untuk merasakan perubahan, untuk merasakan kejutan-kejutan yang membuat kita punya alasan untuk menyongsong hari yang baru.



Aku bertemu banyak orang di kota ini. Juga, rekan-rekan kantor yang membuatku belajar sangat banyak. Keseharian yang kini sangat kunikmati. Aku mungkin akan lebih memuja kota ini sekarang.



Beberapa kali aku ditanya, “Kalau kamu dipindahkan ke tempat lain... bagaimana?” Aku pikir jika ditanya itu sekarang, jawabanku masih sama, “Ya sudah kalau memang itu yang terbaik”. Pindah memang nggak pernah mudah, tapi untuk mengejar sesuatu yang lebih baik, kenapa takut? Aku pikir aku nggak akan pernah sampai di titik ini, sekarang, jika nggak pernah nekat.



“Mungkin saat ini kita sedang menangis. Tapi setelah masa-masa ini lewat dan kita menoleh ke belakang. Kita pasti akan tersenyum.” Aku pernah membaca tulisan ini, lebih dari sepuluh tahun yang lalu entah dimana. Dan itulah yang selalu aku pegang sekarang.


Komentar

Postingan Populer