Stop. And Listen.


Sore itu, seperti biasa, aku berjalan kaki dari tempat kuliahku menuju kos. Aku melewati sekumpulan tukang ojek, tukang gorengan, mobil-mobil yang lagi nunggu penumpang, tanpa menghiraukan mereka yang ngelihatin aku pas aku lewat. Aku sudah agak biasa diperhatiin sama orang asing dengan tatapan menyelidik. Entah karena aku yang nggak seperti mereka, terlahir dengan kulit putih, mata sipit, pokoknya ‘cina’ banget lah, atau entah apa.

Aku berjalan sambil, hingga sampai di anak tangga terakhir jembatan penyebrangan yang hampir tiap hari kulewati. Tiba-tiba seorang cowok berusia 20an, dengan senyum lebar, menyapaku.

“Misi Mbak… saya mau nyampaiin info-”

Aku buru-buru mempercepat langkahku, ninggalin orang itu di belakangku dan nggak ngebiarin dia ngelanjutin kalimatnya. Aku sudah agak antipati sama orang-orang yang kaya gitu, karena ujung-ujungnya bakal diminta menyumbang untuk sesuatu yang aku nggak yakin mereka beneran alokasikan dengan tepat sesuai dengan yang mereka ceritakan atau nggak.

“Terimakasih,” aku denger orang itu ngomong di belakangku dengan suara ceria.

Entah kenapa, suara cowok itu terngiang di telingaku sampai beberapa langkah aku berjalan. Aku tiba-tiba ngerasa kasihan ya dia dikacangi? Dan sambil aku mikir gitu, seorang yang lain, cowok, dengan kacamata berbingkai hitam tiba-tiba sudah berdiri di depanku, dengan senyum lebar.

“Selamat sore, Mbak,” sapanya.

Aku segara menundukkan kepala dan berjalan menghindari orang itu.

“Maaf Mbak, saya nggak mau jualan kok,” ia tersenyum menatapku yang tanpa sadar sudah berhenti melangkah. “Saya mau menyampaikan info buat Mbak,” ia berjalan mendekatiku, lalu mengulurkan tangannya. “Maaf, dengan Mbak siapa?” Sepintas aku melihat logo panda dan tulisan WWF di tali nametag yang melingkari lehernya. Hmm.. organisasi terpercaya sih…

Aku menatap tangan yang terulur di depanku selama beberapa detik, dan akhirnya dengan ragu-ragu mutusin buat menjabat tangan orang itu. “Precill,”

“Sori? Bra..zil?”

Hah? Okee… kayanya permasalahan ini ada dimana-mana.

“Prisil,” kataku akhirnya.

“Ooh, Mbak Prisil,” ia akhirnya mengulang nama yang sebenarnya aku kurang suka dipanggil gitu. “Mbak kelihatannya masih muda. Umur Mbak berapa?”

“19 tahun,” jawabku cepat, dan tiba-tiba ngerasa nggak nyaman. Ini ngapain ditanya-tanya umur segala?

“Wah, sayang sekali,” ia menatapku kecewa. “Gini Mbak, kami sedang ada misi melindungi orang utan di Kalimantan. Sayangnya, program ini kami buka untuk partisipan yang berusia 24 tahun ke atas,”

Aku diam. Ooh..

“Tapi, terimakasih atas waktu Mbak. Lain waktu mungkin Mbak bisa berpartisipasi dengan kegiatan kami,” ia menjabat tanganku lagi, kembali tersenyum lebar. “Selamat sore,”

Aku tersenyum, lalu pergi. Dan sisa perjalanan itu, aku habiskan sambil berpikir. Orang-orang barusan berusaha mendekati orang asing, ngajak ngobrol orang yang mungkin nge-BT-in dan bawaannya curigaan mulu kaya aku, kenapa mereka mau melakukan tugas tersebut> Kenapa mereka mau bekerja demi melindungi… orang utan? Kalau mereka mau, mereka bisa bekerja sebagai sales kartu kredit di mall. Pekerjaan yang nggak beda jauh, tapi bisa dilakukan di mall yang ber-AC, mereka nggak perlu mencegat pejalan kaki dan ngajak ngobrol di pinggir jalan, dengan asap kendaraan yang lewat.

Dan aku mikir, nggak semua orang asing itu jahat. Ya, waspada itu penting, apalagi di Jakarta. Tapi… bersedia mendengarkan info yang mereka sampaikan, kenapa nggak? Toh aku nggak begitu terburu-buru. Barangkali dengan menyediakan waktuku, mereka akan merasa sedikit bahagia setelah ditolak berkali-kali oleh orang lain untuk sekedar menyampaikan info.


Dan aku pun sampai di depan pagar kos. 

Komentar

Postingan Populer