Dan Waktu Mengubah Kita


Pas SD sampai SMP, pokoknya saat pertama kali aku mengenal benda yang namanya komputer, aku jatuh cinta pada benda itu. Benda ajaib yang bikin aku lupa waktu. Pulang sekolah, tanpa ganti seragam dan makan siang, aku langsung sibuk ‘menggerayangi’ komputer tercinta. Aku baru akan ganti baju dan makan saat mama pulang ngajar sekitar jam 3an dan ngamuk-ngamuk. Baru aku berhenti maen komputer. Aku benar-benar kagum sama penemu komputer. Entah siapa namanya, seingatku waktu SMP pernah diceritain sama guru TIK. Ia telah menciptakan benda ajaib yang kujadikan soulmate. Maen game, ngetik cerpen, gambar-gambar pakai program paint…


Salah satu game yang bikin aku ketagihan duduk lama-lama di depan komputer tuh game Feeding Frenzy. Pokoknya di game itu, kita mesti ‘makan’ ikan-ikan yang lebih kecil dari ikan kita, trus mesti hati-hati ‘dimakan’ sama ikan yang lebih gede. Papaku sendiri kalo nggak ada kerjaan malam-malam suka maen game. Selain game Spider Soltaire *game kartu gitu*, papa suka maen Feeding Frenzy. Waktu itu aku kagum sekali sama papa yang berhasil sampai di level paling terakhir, sedangkan aku level 5 aja nggak bisa lolos-lolos.


Bertahun-tahun kemudian, tepatnya beberapa bulan lalu, aku ‘menemukan’ game ini kembali. Aku jadi ingat gimana bertahun-tahun yang lalu aku stress sendiri gara-gara ngulang-ngulang kesalahan yang sama dan nggak bisa naik level. Aku coba mainin game ini di laptop. Dan aku berhasil tamat, dengan sisa 14 nyawa belum terpakai.


Sederhana, tapi aku jadi nyadar kalo waktu udah lewat lama… banget. Dan waktu udah ngubah aku. Aku yang dulu nggak bisa, sekarang dengan mudah bisa melakukan sesuatu. Dan semua manusia SEHARUSNYA mengalami seperti yang aku alami. Dulu kita gagal, bukan berarti kita tidak perlu mencoba lagi karena saat ini pun kita pasti akan gagal. Nggak.


Waktu SD aku benar-benar minder sama kemampuan akademikku. Nggak, aku bukan mengarang-ngarang cerita supaya tulisanku ini terkesan bagus seperti tulisan-tulisan inspiratif di majalah-majalah. Tapi ya… aku benar-benar sangat biasa. Aku ingat aku nggak pernah dapat ranking di kelas. Aku selalu mimpi jadi juara kelas. Dan menurutku itu hal yang sangat mustahil. Aku nggak bisa.


Naik ke SMP, masih sama. Aku sangat lemah di pelajaran Matematika. Waktu SMP aku sempat masuk kelas inti. Jadi anak-anak yang dinilai agak lebih di bidang akademik, masuk kelas inti. Tapi aku hanya masuk kelas inti selama 1 semester. Setelah itu, aku dikeluarkan dan masuk kelas regular. Aku sangat malu. Menurutku lebih memalukan dikeluarkan dari kelas inti dibanding nggak pernah masuk kelas inti sama sekali. Dan aku dikeluarkan karena nilai matematikaku kurang 0 koma sekian untuk mencapai standart. Aku benci matematika.


Di semester akhir SMP, papa minta seorang temannya buat ngelesin aku matematika. Sebelumnya aku sempat les matematika sama guru yang terkenal pintar dan ngajar banyak anak pintar di sekolahku. Aku tambah minder karena bukannya semakin pintar karena les sama guru itu, tapi aku semakin nggak ngerti. Tapi dengan teman papa ini, aku jadi ngerti. Aku lulus UN matematika dengan nilai lumayan.


Masuk SMA, aku depresi. Bukan hanya matematika, tapi banyak pelajaran aku nggak sanggup nguasai. Fisika, Kimia, Mandarin… Semester awal masuk SMA, aku sempat nangis dan ngomong ke papaku biar aku boleh pindah sekolah ke Jayapura lagi. Kalo aku tetap di Malang, siap-siap aja nggak naik kelas. Aku minder banget. Tapi papaku malah menghiburku dengan kata-kata yang nggak biasa, “Udah Pres, kamu lakuin aja semampumu. Kalo nggak naik kelas ya sudah. Toh kamu lahirnya tahun ’95, jadi kamu kecepatan sekolah 1 tahun. Ntar pas kamu tua, nggak ada yang tahu kamu pernah nggak naik kelas,”


Dan aku ngelakuin apa yang aku bisa semampuku.


Aku nggak bilang kalo endingnya aku menjadi anak berprestasi, bintang kelas, nggak. Aku masuk jurusan IPS, dan aku menikmatinya. Aku nggak sebegitu minder dengan nilai-nilai akademikku lagi. Kalo aku nggak bisa di mata pelajaran itu, ya okelah. Aku bisa ningkatin nilaiku di pelajaran yang lain. Tapi aku nggak pernah berpikir, “aduh… besok ulangan mandarin. Pasti jelek nih nilainya”. Kalo kemarin aku dapat nilai jelek, bukan berarti besoknya pasti jelek lagi, kan? Aku tetap belajar, dan nggak stress lagi kalo dapat nilai jelek. Toh apa yang udah tertulis di kertas nggak bisa diubah lagi, kan?


Waktu bakal ngubah kita, bukan cuma ngubah aku. Waktu bakal bikin kita belajar lebih banyak, dan bikin kita mampu melakukan sesuatu yang dulunya belum sanggup kita lakukan. Asalkan kita nggak berpikir nggak bisa melakukan sebelum mencoba.


Btw, aku cocok jadi seperti Mario Teguh gitu ga ya? :D

Komentar

Postingan Populer