Unrequited Love

Sebagai pra-remaja labil seperti biasanya, sewaktu SMP aku juga pernah merasakan rasanya naksir sama seorang cowok. Ya, biasalah, cinta monyet. Dan untuk informasi, pas SMP tuh aku nggak bisa dibilang populer. Cupu sih iya. Pakai kacamata, rambut belah tengah nggak pakai poni, pintar? Nggak juga. Makanya, aku nggak berani untuk terang-terangan menunjukkan rasa sukaku pada… Dio *bukan nama sebenarnya*.


Aku kenal Dio sudah lama. Aku sekelas sama Dio sejak kelas lima SD, sampai kelas dua SMP. Jodoh banget, kan? Hehe… Tapi selama empat tahun itu, aku jarang… banget ngobrol sama Dio. Soalnya aku takut, salah ngomong sedikit, bisa-bisa Dio tahu kalau aku suka sama dia. Iya, iya. Parno banget.

Sudah lama aku punya nomor HP Dio, dari seorang sahabatku yang juga teman sekat Dio. Tapi nomor HP itu cuma aku tulis dengan rapi di buku diaryku, dan nggak pernah aku hubungi, kirimi SMS…


Sampai suatu kali, aku ditunjuk untuk mengikuti sebuah lomba untuk mengadakan penyuluhan tentang HIV/AIDS. Lomba itu diadakan untuk tim. Dan H-3 sebelum hari lomba, tiba-tiba ada satu orang anggota timku yang mengundurkan diri. Waktu itu ketua timku memintaku untuk mencari satu orang pengganti, karena dia sendiri sudah terlalu sibuk untuk mengurus satu event yang diadakan OSIS. Maklum, dia ketua OSIS.


Aku bingung. Bagaimana caranya? Hari perlombaan sebentar lagi, dan materi yang harus dikuasi si pengganti anggota timku yang mengundurkan diri ini lumayan banyak. Aku langsung mengirim SMS ke semua teman-temanku yang aku pikir kira-kira sanggup menghafal dalam waktu cepat. Dan yang membalas SMSku, semuanya menjawab : nggak bisa.


Aku yang sudah kebingungan akhirnya berniat mengirim SMS ke ketua timku untuk mengusulkan bagaimana kalau mengundurkan diri saja? Daripada kami tampil tapi nggak maksimal? Dan saat aku mencari-cari nama si ketua tim ini di kontak HPku, aku sampai di nama Dio. Aku nggak dekat dengan Dio. Tapi aku tahu Dio termasuk pintar, aku pikir Dio bisa menghafal materi-materi itu dalam waktu yang sudah mepet ini.


Aku SMS Dio, dan Dio pun membalas SMSku. Dia bisa. Hua…! Senang sekali rasanya.


Singkat cerita, tim sekolahku nggak menang dalam lomba itu. Tapi sejak pertama kali aku SMS Dio sewaktu mencari anggota tim, aku dan Dio jadi lumayan sering SMS-an. Biar pun begitu, kalau berpapasan di sekolah tetap saja Dio nggak pernah menyapaku. Lewat begitu saja.


Dan akhirnya, kelas tiga berlalu begitu saja. Aku melanjutkan SMA di Malang, dan Dio di Makassar. Kami sudah nggak pernah SMS-an lagi, kecuali saat aku meng-SMS semua teman-temanku dalam rangka promosi buku antologi cerpenku bersama CCW yang akhirnya diterbitkan. Dio memberiku selamat, dan berjanji akan membeli bukuku. Sudah.


Unrequited love. Cinta yang tak berbalas. Biar pun aku tahu aku nggak bisa jadi lebih dari sekedar teman untuk Dio, tapi waktu itu aku tetap berusaha melakukan yang terbaik. Waktu itu aku ingat, Dio baru bikin account Facebook dan meng-add aku. Dio memberi like pada salah satu tulisanku, dan aku senang… sekali. Aku mulai rajin nulis, siapa tahu Dio membaca tulisanku? Dan Dio sempat memberi comment pada beberapa tulisanku. Sesederhana itu, tapi rasanya sangat berarti.


Aku juga jadi belajar mati-matian sewaktu SMP, berhubung nilai beberapa mata pelajaranku ada yang merah. Kenapa? Soalnya aku tahu dari seorang temanku, Dio akan melanjutkan SMA di Malang, di sekolah tempatku bersekolah sekarang. Aku ingin masuk SMA yang sama dengan Dio. Aku berjuang biar bisa mendongkrak nilai-nilaiku, supaya bisa keterima di SMA ini. Berhasil. Tapi saat upacara kelulusan SMP, aku memberanikan diri bertanya sama Dio, dia mau lanjut SMA dimana? Dan… bukan di Malang. Padahal waktu itu aku sudah menerima telepon kalau aku sudah diterima di SMA di Malang. Jengkel, sedih, semuanya deh.


Waktu aku nulis tulisan ini, aku lagi liburan di Jayapura. Iseng, tadi siang aku bongkar-bongkar lemariku, dan nemu binder lamaku yang isinya tulisan-tulisanku tentang Dio. Cerpen-cerpenku, puisi-puisiku, gambar…


Rasanya lucu ketika kita mencintai orang secara diam-diam. Kita tahu kita nggak bisa dekat dengan orang yang kita sukai karena kita sendiri nggak berani mendekati dia, dan berharap Tuhan bakal mendekatkan kita begitu saja dengan orang itu. Kita sering memikirkan ia, padahal kita sendiri tahu mungkin ia tidak memikirkan kita. Dan saat kita sudah dipisahkan jarak dengan orang itu, saat kita sudah nggak mungkin lagi dekat dengan orang itu, yang bisa kita lakukan hanya menyalahkan diri sendiri. Kenapa nggak berani berbuat sesuatu saat kita masih memiliki kesempatan? Dan terkadang, melupakan orang yang kita cintai secara diam-diam itu memerlukan waktu yang nggak sebentar.

Komentar

Postingan Populer