Tiga Keping Cinta_part 2

“Benar kan apa yang aku bilang? Kita tetap baik-baik saja kok setelah kemarin kabur dari pelajarannya Pak Wido?” kata Ori sambil mebolak-balik komik Hai Miiko! terbaru yang kemarin baru ia beli di Gramedia.
Jam pelajaran Matematika selama tiga jam hari itu menjadi jam kosong karena istri Pak Wido mendadak sakit. Jahat memang sih kalo mensyukuri istri Pak Wido yang sakit, tapi itulah dirasakan anak-anak kelas XI IPA-1 hari itu. Senang, bahagia, hidup benar-benar terasa indah.

“Iya, sih. Untuk kali ini insting kamu benar, Ri,” sahut Ewi.

“Ngomong-ngomong besok kan libur karena kakak-kakak kelas kita mau UAS praktek. Kalian pada mau ke mana nih?” tanya Ori.

“Enggak kemana-mana. Aku sih paling belajar di rumah,” jawab Rastri.

“Halah… kerajinan banget kamu, Stri? Kita ngadain pajamas party yuk di rumahku! Kebetulan orang tuaku lagi pada keluar kota buat ngurusin bisnis mereka. Yah? Aku kesepian nih di rumah,” rengek Ewi.

“Pajamas party itu apaan sih?” tanya Rastri dengan tampang lugu selugu sepatu Logo.

“Itu lho, Stri. Pesta piyama, yang biasa di komik-komik, lho,” jelas Ori, sedangkan Rastri ngangguk-ngangguk (sok) ngerti.

“Jadi kalian pada setuju nih pajamas party-an di rumahku?” tanya Ewi meyakinkan.

“Aku sih pasti ikut dong! Daripada di rumah, enggak ngapa-ngapain,” curhat Ori.

“Kalo gitu aku juga bisa deh. Kalo sama kalian, orang tuaku pasti ngijinin,” kata
Rastri. Orang tua Rastri memang sudah mengenal baik Ori dan Ewi karena Rastri sudah bersahabat dengan mereka sejak zaman purba dulu, makanya Ori dan Ewi enggak pernah mengalami kesulitan buat minta ijin pada orang tua Rastri kalo mau ngajak Rastri kemana-mana.

“OK, girls! Jadi pulang sekolah, kalian langsung siap-siapin barang-barang yang mau kalian bawa nginap, trus jam tiga-an aku jemput kalian. Sip?” Ewi meminta persetujuan teman-temannya lagi.

“OK!” sahut Rastri.

“Eumh, Wi, aku nanti datangnya agak telat sedikit. Soalnya aku mau ke XEO dulu sepulang sekolah buat beli komik. Enggak apa-apa kan?” tanya Ori dengan wajah yang dipasang sememelas mungkin.

“Ya sudah, enggak apa-apa kok. Tapi pulang dari XEO langsung ke rumahku, ya!”

“Sip, bos!”
***
Ori asyik mengitari toko buku XEO sambil mencari-cari komik Beauty Pop seri keenam yang kata Rastri sudah terbit.
“Permisi, Mbak. Nyari buku apa?” tanya seorang wanita paruh baya yang sedang mengenakan topi warna cokelat berbordir tulisan ‘XEO BOOKSHOP’ dan kaos biru bertuliskan tulisan yang sama.

“Eumh, komik Beauty Pop yang paling baru sudah ada, Mbak?” tanya Ori.

“Tunggu sebentar yah,” wanita tersebut tampak celingukan sebentar, kemudian memanggil seseorang. “Alan…”

DHEG! Jantung Ori berdesir pelan ketika seorang cowok bernama Alan yang tempo hari dilihatnya bersama Ewi dan Rastri datang menghampirinya bersama wanita yang tadi memanggil dirinya.

Ori benar-benar salah tingkah, si Alan juga kelihatannya.

“Eh, ad-ada apa, Bu?” tanya Alan.

“Ini, kamu layani dulu Mbak ini. Mbak ini lagi nyari komik apa gitu, tapi enggak nemu. Kamu tolong kasih tahu letak komik yang Mbak ini cari,” kemudian wanita paruh baya tadi meninggalkan Ori dan Alan berdua.

“Kamu nyari komik apa?” tanya Alan dengan nada yang benar-benar enggak ramah. Padahal sebagai salah satu karyawan di toko buku itu, harusnya ia murah senyum dan ramah pada pelanggan. Iya enggak?

“Be-Beauty Pop yang seri keenam…”

Alan berjalan ke arah rak komik yang paling ujung, kemudian dengan sedikit berjinjit ia meraih sebuah komik yang sejak tadi dicari Ori. Ya iya lah eggak aku temukan! Ditaruhnya di tempat setinggi itu, mana aku lihat! omel Ori dalam hati.

“Makasih,” ucap Ori setelah menerima komik bersampul ungu tersebut.

Melihat ia sudah selesai mengerjakan tugasnya, Alan segera bergegas meninggalkan Ori.

“Eh, tunggu-” Ori buru-buru mencegat Alan.

Alan membalikan badannya, “Ada apa lagi? Masih ada yang mau dicari?” tanya Alan dengan nada datar.

“Alan? Kamu… sejak kapan kerja di sini? Kemarin-kemarin waktu aku datang ke sini, aku enggak pernah lihat kamu.” tanya Ori.

Alan menatap Ori dengan tatapan sinis.

“Jangan bilang siapa-siapa,” setelah mengatakan hal itu, Alan pun pergi meninggalkan Ori yang terbengong-bengong sambil meruntuki Alan dalam hatinya.

Dasar cowok sok misterius!
***

Malam menjelang. Langit malam mulai menyelimuti Jayapura.

Nah, di sebuah rumah, tepatnya di rumah Ewi, seperti yang kita tahu sedang terjadi sebuah pesta. Pajamas party.

“GYAHUAHAHA…!!! Aduh, Ri! Kamu enggak lesbi kan? Jangan meluk-meluk aku begitu, dong! Geli tahu!” omel Ewi pada Ori yang memeluk tubuhnya, atau lebih tepatnya berusaha menggelitiknya. Tapi tekhnik Ori salah. Rencananya ia mau meluk Ewi, baru menggelitiki anak itu. Tapi sejak tadi yang ia lakukan malah meluk-meluk Ewi melulu, enggak ngegelitik-gelitik.

“Ye… aku masih demen cowok, tahu!” omel Ori yang merasa keperempuanannya diragukan.

Ewi masih tertawa-tawa sambil merapihkan rambutnya di depan kaca, sedangkan Ori dengan menjunjung asas kenarsisan memotret-motret dirinya sendiri dengan kamera HP-nya.

“Ngapain, Ri?” tanya Rastri yang sejak tadi memperhatikan tingkah Ori dan Ewi yang asyik main gelitik-gelitikkan. Ia menurunkan novel yang sejak tadi menutupi wajahnya, kemudian mulai asyik memperhatikan Ori yang dengan narsisnya bergaya dengan berbagai macam gaya yang ‘hot’ dan memotret dirinya sendiri. Iya, benar-benar hot, soalnya Ori motret-motret dirinya sambil jalan di atas kompor, sambil makan api trus nyemburin api dari mulutnya (ini Ori atau pemain sirkus?) lagi.

“Hehehe… aku mau bikin foto buat dipajang di Facebookku.” jawab Ori.

“Ri, enggak salah kamu mau majang foto kamu di Facebook dengan tampang begini?” tanya Ewi sambil mengerutkan keningnya dan menatap Ori yang masih asyik berpose dengan gaya-gayanya yang hot. Ori saat itu mengenakan piyama bergambar teddy bear dan rambutnya sudah acak-acakkan karena bergulat dengan Ewi tadi.

“Iya. Kenapa?” Ori balik nanya.

“Ri, bukannya banyak orang yang nge-add kamu, tapi yang ada malah orang-orang pada ngeri ngelihat tampang kamu!” kata Rastri sambil ngikik.

“Sialan!” umpat Ori sambil melempar sebuah bantal ke arah Rastri.

Setelah puas menganiaya Rastri, Ori melanjutkan sesi pemotretannya yang sempat tertunda tadi, sedangkan Rastri kembali menekuni novelnya.

“Guys, kalian ngerasa enggak sih ada yang aneh dengan kita?” tanya Ewi tiba-tiba. Ori dan Rastri langsung duduk mendekat dengan Ewi.

“Apa? Enggak ada yang aneh kok dengan kita! Kita enggak lesbi. Kita semua normal. Atau kamu naksir sama salah satu dari aku dan Rastri? Aduh… jangan deh, Wi!” Ori nyerocos asal dengan kecepatan di luar batas.

“Bukan, Ri! Serius dong! Maksud aku, kita kan sudah lama sahabatan, tapi pernah enggak sih kita terbuka satu sama lain tentang… tentang siapa cowok yang kita sukai?” jelas Ewi dengan wajah duarius. Tahu kan duarius itu artinya apa? Itu lho, kelewat serius, jadi duarius. Enggak ngerti? Ya sudah, lah.

Ori dan Rastri sama-sama diam sehingga menciptakan jeda yang lumayan panjang.

“Gank-nya Luna, B’cube, mereka saja saling terbuka satu sama lain. Termasuk tentang cowok yang mereka suka. Aku tahu ini dari Luna, dia waktu itu cerita tentang kekompakan gank-nya padaku,” lanjut Ewi.

“Tapi kita kan bukan gank? Kita sahabat,” kata Rastri.

“Iya, tapi aku ingin kita bisa saling terbuka. Tentang cowok yang kita suka misalnya?” kata Ewi lagi.

Sekali lagi mereka bertiga terdiam, hingga Ori yang akhirnya memutuskan untuk memecahkan keheningan tersebut dengan memecahkan sebuah balon.

DORRR!!

“Ori! Kamu ini sarap yah?!” omel Ewi.

“Hehehe… maaf. Habis aku enggak tahan kalian semua diam sih…” Ori yang tahu diri membereskan potongan-potongan pecahan balon karet tadi. “Eumh… lalu, siapa cowok yang kamu suka, Wi?” tanya Ori to the point.

“Lho? Kok aku?” Ewi protes.

“Kan kamu tadi yang bilang kalo kamu mau supaya kita terbuka tentang cowok yang kita sukai? Nah? Sekarang, siapa cowok yang kamu sukai?” Ori ngulang pertanyaannya.

“Iya sih. Tapi kalian janji yah, kalian enggak bakal ngetawain aku dan bakal ngasih tahu siapa cowok yang kalian sukai juga.”

Ori dan Rastri kompakan menganggukkan kepala mereka sambil memeluk bantal masing-masing erat-erat.

“Christian…”

Begitu mendengar nama cowok tersebut diucapkan dari mulut Ewi, Ori dan Rastri langsung melupakan janji mereka semula pada Ewi dan ketawa ngakak keras-keras.

“Christian, Wi? Cowok yang rada culun nan dingin yang anak kelas XI IPS-3 itu? Huahahaha… Enggak ada pilihan lain apa?” tawa Ori. Ewi segera mencubit pipi Ori keras-keras. “Gila! Ewi! Tega amat sih sama teman sendiri! Cubitan kamu itu keras banget tahu!” protes Ori.

“Tapi Christian sebenarnya orangnya ramah banget, kok! Dia enggak keberatan aku minta diterangin soal pelajaran Fisika yang aku enggak ngerti!” Ewi berusaha membela dirinya.

“Fisika? Tumben-tumbenan ada anak jurusan IPS yang bisa Fisika. Memangnya Christian jago Fisika, yah? Trus kenapa enggak masuk IPA saja dia?” tanya Rastri.

“Iya, jago banget. Kalian enggak tahu yah, selama ini aku sering belajar bareng sama Tian kalo ketemu di perpustakaan sekolah,” cerita Ewi lagi.

“Belajar bareng di perpustakaan? Oh, pantas akhir-akhir ini kamu sering nongkrong di perpustakaan. Aku kira kamu kesambet setan apaan,” gumam Ori sambil ngangguk-ngangguk.

“Tian memang pinter banget Fisika, tapi dia enggak minat masuk IPA. Katanya dia lebih suka soal pelajaran-pelajaran seperti Georafi gitu,” jelas Ewi. Ori dan Rastri manggut-manggut mengerti.

“Lalu, cowok yang kamu suka siapa, Ri?” todong Ewi pada Ori.

“Siapa yah? Selama ini aku cuma ngecengin enggak serius Rio,” jawab Ori.

“Rio? Orion? Kembaranmu itu yah?” tanya Ewi sambil menahan tawa.

“Bukan Rio yang anak kelas kita! Rio yang anak basket itu lho,” jelas Ori.

“Keren juga selera kamu, Ri,” komentar Ewi.

“Lalu Rastri, cowok yang kamu suka siapa?” tanya Ori.

Rastri diam sejenak hingga menimbulkan efek penasaran pada Ori dan Ewi. Aduh… aku kok jadi ikutan penasaran yah? Kamu-kamu yang ngebaca cerita ini juga penasaran? Ya sudah, kalo lima menit lagi Rastri belum jawab kita cekek rame-rame, OK?

“Siapa?” tanya Ori lagi.

“Kalian janji yah? Omongan kita tentang masalah ini enggak akan sampai ke telinga orang lain?” tanya Rastri.

“Iya! Cepetan!” omel Ori yang sudah mulai enggak sabaran.

“Alan…” jawab Rastri yang hampir kedengaran seperti orang lagi berbisik.

“Al-Alan?” ulang Ori.

Diam…

Masih diam…

Sunyi…

Belum ada yang ngomong…

Ori sudah bersiap-siap mengambil balon karet lagi buat dipecahin.

DORRR!!!

“ORI!!!” jerit Ewi histeris. Ori cengengesan.

“Habis kalian enggak ada yang ngomong sih! Kan sunyi, berasa di kuburan!” Ori membela diri.

“Rastri suka sama Alan? Sejak kapan?” tanya Ewi.

“Sebenarnya aku suka sama Alan belum lama ini sih. Sejak kita ngelihat cowok yang mirip Alan di XEO. Semenjak itu aku selalu mikirin dia. Dan setiap kali aku berpapasan dengan Alan di sekolah, rasanya aku ngerasain sesuatu yang aneh dalam hatiku,” cerita Rastri.

“Cie… bahasanya! Puitis amat!” komentar Ewi.

Dalam hatinya, Ori sibuk mikir, Apa aku ceritain yah kejadian tadi siang di XEO pada Ewi dan Rastri? Kalo cowok yang waktu itu kami lihat benar-benar Alan. Tapi Alan, walau bagaimana pun, dia nyuruh aku supaya aku enggak cerita sama siapa-siapa kalo aku ketemu dia di XEO. Daripada bikin masalah, mending aku diam saja kali yah?
***

Komentar

Yonathan mengatakan…
nice! wait 4 part 3..^^

Postingan Populer