A Not So Ordinary Weekend In Malang
“Kamu sampai di Surabaya jam
berapa, Re?”
“Jam satu subuh,”
“HAHH?” aku garuk-garuk kepala
membaca percakapanku dan Regina via whatsapp. “Kamu jam satu pagi baru sampai
di Surabaya. Trus kita mesti naik kereta jam tujuh pagi. Sis, lu kok kaya
Syahrini aja? Jadwal tur-nya padat banget,”
“Haha... iya, kan mau nge DJ di
Kowloon,”
“KOK LU TAU KOWLOON?”
“Hehehe...”
Akhirnya Regina – partner
travellingku yang terkenal seantero netizen follower Instagram Precill – sampai
di kosanku tengah malam lewat dikit, soalnya dia nggak jadi turun di stasiun
Surabaya Gubeng, tapi turun di Pasar Turi. Iseng. Daripada nungguin keretanya
ganti lokomotif hampir setengah jam, begitu alasan dia. Setelah bukain pintu
pagar kosan, aku kembali tepar.
Pagi hari, aku dan Regina sudah
siap-siap dengan ransel masing-masing. Aku mengeluarkan motor dari parkiran
kosan. KA Mutiara Selatan tujuan Malang akan berangkat pukul 07.20. Sebenarnya
perjalanan dari kosanku ke stasiun cuma 15 menit. Tapi kami berangkat dari
kosan pukul 06.30. Kenapa? Karena sejujurnya biarpun aku sudah bolak balik naik
kereta dari SGU, aku nggak pernah bawa motor sendiri ke stasiun. Biasanya naik
gojek. Aku nggak tahu masuk parkiran motornya dari mana, dan karena keparnoan
itu, aku ngajak Regina berangkat sangat-sangat kepagian. Dengan alasan biar
nggak gopoh ngeprint tiket segala
macam, haha...
Perjalanan dari Surabaya ke
Malang memakan waktu sekitar dua jam. Kami tiba di Stasiun Malang pukul 09.38.
Inilah yang kusuka dari naik Kereta Api. Satu, jadwalnya yang tepat waktu.
Berangkat mau pun tiba di tempat tujuan, menurut pengalamanku sih, nggak pernah
meleset lebih dari sepuluh menit. Nggak mungkin macet di jalan juga, kan? Dua,
aku bisa duduk lega sambil nempelin kepala di kaca jendela, hehe.... Iya, aku
tahu aku nggak tinggi-tinggi banget, dan kakiku nggak panjang-panjang banget.
Tapi duduk di mobil travel berjam-jam malah bikin aku capek duluan sebelum
mulai jalan-jalan. Kalau naik kereta, bosan duduk di tempat duduk sendiri
(apalagi kalau di kursi sebelah duduk ibu-ibu kepo yang sibuk nanyain umur,
kerja di mana, dan KOK BELUM NIKAH) aku iseng pindah duduk di cafe atau jalan-jalan ke peron lain dari ujung ke
ujung. Dan alasan ketiga, naik KA itu murah. Udah, sesimpel itu sodara-sodara.
“Makan rawon ntar ya, Re,” usulku
setelah membuka Google Map. Tiba-tiba aku ingat obrolan dengan seorang driver
ojek online yang cerita tentang Rawon Tessy di dekat stasiun. Rawon enak
katanya. Lalu aku searching sebentar review orang lain di google, dan ngide ke
sana.
“OK,”
Keluar dari pintu keluar stasiun,
aku dan Regina berjalan ke arah kiri sesuai arahan Mbah Gmap. Nggak sampai
sepuluh menit, kami sudah tiba di sebuah warung rawon yang nggak (atau belum)
begitu ramai.
Sesuai review, kuah rawon yang
disajikan memang agak beda. Nggak hitam butek gitu kaya rawon biasanya.
Dagingnya lembut, dan menurut tante Regina, ada rasa jahe di kuahnya. Okelah,
ketika temanku bisa membedakan macam-macam rasa, di kamusku cuma ada enak dan
enak banget. Bersama rawon, di meja kami juga disediakan tambahan lauk.
Perkedel kentang, usus, paru, tempe, dan kesukaan Regina – mendol – semacam
tempe yang dibumbui.
“Kita taruh barang di hotel dulu
kali ya. Trus... jalan deh. Jalan kemana saja,” usulkku, setelah kami membayar
makanan kami masing-masing.
Sebenarnya, kali ini kami nggak
menyusun itinerary mau kemana. Niatnya kami ke Malang karena nanti malam mau
kondangan seorang senior kami jaman kuliah. Piknik terselubung kondangan, sih.
Regina juga nggak excited diajak ke theme park kekinian di Malang. Iya sih,
weekend pasti ramai. Jadi dia cuma pesan untuk diajak kulineran di Malang.
Okay, Ibu.
Selama di Malang, kami
menggunakan ojek online sebagai pilihan transportasi. Karena Malang macet, dan
tarif ojek online cukup ramah di kantong kami yang masih budak korporasi.
Kali ini aku nginap di Riche
Heritage Hotel. Iya, (nyaris) selalu nginap di sini kalau di Malang, sejak
adik-adikku sudah nggak ngekos lagi di Malang. Kebetulan dapat promo lewat
aplikasi Pegipegi, untuk satu malam Deluxe Room include breakfast, dicharge Rp
280.000. It would be worth it, kok. Letaknya juga strategis di pusat kota, pas
di seberang Mall Sarinah, sebelahan dengan Gramedia dan Toko Es Krim Oen, serta
banyak tempat makan enak. Oh, dan cara mbak-mas resepsionis berinteraksi dengan
customer juga bikin nyaman, bisa kutanya-tanyain dari dulu, dan mau senyum.
Iya, aku customer gampangan kok sebenarnya. Senyumin aja aku, dan layani dengan
ramah. Kalau dijudesin, ya aku judesin balik.
Kami memang baru bisa check in
jam 13.00, dan karena masih jam 11.00, kami nitipin ransel di resepsionis dan
dengan sok tahu jalan kaki nyari Es Tawon Kidul Dalem. Tadi si Bapak ojol yang
ngantar aku sudah nyeritain rutenya. Setelah buka Gmap dan diiming-imingi
“hanya” 700 meter, okelah kami berdua mutusin buat jalan kaki. Di tengah jalan,
aku bingung ini kenapa Gmap nyuruh muter-muter masuk gang kampung orang.
“HEH ITU TEMPATNYA!” aku
kegirangan melihat kain kuning bergambar segelas es campur denngan tulisan ES
TAWON. “Sek ta, masih tutup ya
tempatnya?” aku mengernyit, nggak melihat semacam “pintu” yang terbuka. Kami masih
di seberang jalan saat itu, beberapa meter dari warung.
“Buka kok,”
Dan, syukurlah buka. Sudah
kebayang jalan panas-panasan, demi es 8.000, lalu ternyata tempatnya tutup, kan
sakit.
Sebenarnya yang dijual di warung
Es Tawon Kidul Dalem ini es sederhana yang bisa kamu temui nggak hanya di
Malang. Cuma yang bikin beda, sirupnya yang dari gula asli tebu. Berhubung aku
dijuluki Generasi Sakarin sama teman kantor karena kecanduan kopi instant dan
minuman manis, minum es campur di warung ini bikin bahagia, lho. Di sudut
warung, aku nemu potongan artikel sebuah koran yang ngereview tempat ini,
tempat yang mempertahankan cita rasa es sederhananya dari tahun 1955.
Kelar minum es, aku ngajak Regina
makan Bakso Bakar Trowulan. Karena pengen temanku yang anak gaul Pekalongan ini
menjadi “locals”, aku ngajak Regina naik angkot. Jadi dari Es Tawon itu kan
kami berdua ke Mall Olympic Garden dulu dengan satu niat mulia : nyari sepatu
kaca buat cici Precill. Dari depan MOG, kami naik angkot jurusan AT. Turun di
depan Masjid Sabilillah, ongkosnya Rp 4.000. Tapi dari tempat pemberhentian
ini, kami masih mesti jalan kaki sekitar 450 meter.
Bakso Bakar Trowulan rasanya
masih sama sejak jaman aku SMA. Dulu kan aku SMA di SMAK Kolese Santo Yusup
Malang, dan tinggal di asrama putri yang beda satu gang saja dengan warung
bakso ini. Waktu kami ke sana pun, karena hari Sabtu, papasan dengan anak-anak
yang seragamnya sama kaya seragamku dulu. Ya Tuhan, Precill sudah tua. TUA.
Jadi kan sering tuh diposting
sama foodie-foodie, foto bakso coklat-coklat seksi yang ditusuk setusuk 15
biji, dibakar di atas arang. Wuoh, fotonya cakep soro, yo. Rasanya juga, sih.
Gurih-manis. Oh iya, selain bakso bakar, di sini juga nyediain bakso kuah. Jadi
bakso – tahu perbiji Rp 3.000, lalu kita suruh nyambil kuah sama bihun sendiri,
bumbu racik sendiri, makan sendiri, iya, masa disuapin sih.
Nah, 350 meter dari Bakso Bakar
Trowulan, ada tempat oleh-oleh yang menurutku cukup lengkap untuk perkeripikan
– Wicaksono. Jaman masih PPA dulu dan liburan ke Malang, pasti dititipi keripik
Lumba Lumba sama teman. Si Regina juga belanja sampai sekardus. Titipan.
Sebenarnya lumayan sih ya, buka jastip oleh-oleh begitu. Biar kalapnya nggak
berasa dosa-dosan amat.
Kenyang? Nggak, belum. Dua bocah
ini kembali ke hotel, naruh belanjaan, lalu ke Toko Oen.
Kata Regina, cake mocca di sini
enak. Jujur, aku bukan penyuka cake. Jadi nggak pernah nyobain selain es krim.
Dan kalau Surabaya punya Zangrandi dan Malang punya Toko Oen, aku prefer
Zangrandi sih, haha... Sering kalau ke sini, aku pesan mushroom soup dan lemon
tea hangat. Di sini jual kue-kue oldies gitu. Pernah aku bawain speculaas buat
teman-teman kantor. Kue kering rasa kayu manis. Hanya orang-orang beriman yang
suka dengan kue itu.
Perjalanan makan terakhir sore
itu (karena malamnya kami pergi ke acara yang menjadi alibi kami piknik)
ditutup dengan semangkuk Kacang Kuwa dan sepotong cakue di Depot Semeru. Kami
jalan kaki saja dari Toko Oen ke Depot Semeru karena (lagi-lagi) kata Gmap
jaraknya nggak jauh, dan cuaca yang sejuk. Sebagai alumni sekolah di Malang,
dan yang bolak-balik Surabaya-Malang, aku ngerasa gagal baru nyoba Kacang Kuwa
kali itu. Suka! Ya... isinya kacang tanah yang lembut banget, dengan kuah yang
berasa susu. Nah, cakue-nya dicocol gitu ke dalam kacang kuwa. Enak beneran,
deh. Semangkuk kacang kuwa dan sepotong cakue dihargai Rp 12.500.
Pulang dari kondangan, aku dan
Regina masih iseng ke Sarinah, nonton di Moviemax kelas eksekutif yang harganya
Rp 50.000, seharga bioskop XXI biasa kan ya? Tapi bisa selonjoran dan lihat Iko
Uwais di Mile 22.
Iya, semakin lama jadi anak
kantoran, mau liburan lama-lama susah. Halangan utamanya, mesti tahu diri
dengan jatah cuti. Akhirnya yang bisa kulakukan, ya short trip. Tapi biarpun
short trip, asal kami selalu melangkah dengan bahagia, hati yang terbuka untuk
menerima cerita baru, liburan dimana pun akan menjadi berkesan. Itu menurutku,
sih.
Termasuk, di Minggu pagi waktu
aku diteriaki Regina yang baru balik jajan di sekitar Riche dan mendapati aku
masih bobo manis di hotel. Kan pagi-pagi aku bilang aku mau ke Gereja, lalu
langsung ke Stasiun. Jadi dia pergi jajan sendiri.
“CIL KAMU KERETA JAM BERAPA?”
Aku buka mata dengan panik, lihat
jam, lalu kelabakan ngelempar semua barang-barangku ke dalam ransel, ganti
baju, sikat gigi, dan pesan ojek online ke stasiun. Iya, 30 menit lagi keretaku
akan berangkat, dan aku masih mimpi kekenyangan di hotel.
Komentar