Do You Remember Me?



Masihkah kamu ingat kali pertama kamu jatuh cinta?

Dia adalah salah seorang teman sekelasku ketika SMA kelas I. Ketika baru pertama kali pindah ke Jawa setelah bertahun-tahun tinggal di Jayapura. Ketika bahkan aku nggak ngerti banyak yang orang perbincangkan karena permasalahan bahasa. Ketika aku benar-benar takut untuk berbicara karena beberapa kali ditertawakan akibat logatku yang kental menandakan aku berasal dari luar pulau Jawa.

Kapan pertama kali aku memutuskan untuk menyukainya? Mungkin saat aku yang kaku lagi gelagapan megang sapu waktu pertama kali tugas piket di kelas, lalu membantuku ngeluarin sampah dari dalam laci mejanya dengan senyum lucunya. Atau, aku yang kagum karena kemampuan akademiknya yang di atas rata-rata. Atau, aku hanya tiba-tiba menyukainya dan nggak bisa berhenti mengamatinya lebih dari satu tahun. Dan juga, nggak bisa berhenti tersiksa dengan diriku yang bahkan nggak punya kepercayaan diri untuk mengobrol dengannya. Benar-benar siapalah diriku, pikirku. Dan satu tahun itu berakhir dengan aku yang sangat jarang mengobrol dengannya.

Beberapa waktu yang lalu, nggak sengaja aku bertemu lagi dengannya ketika aku lagi ngider-ngider sendirian di mall dalam rangka nyari kado untuk seorang sahabat. Aku lagi jalan, sibuk celingak-celinguk nyari inspirasi kado.... dan nyari Pokemon.

Dia tiba-tiba memanggilku . Meneriakkan namaku dengan kencang, dengan suaranya yang riang, dengan senyum lebar. Aku mengenalinya kali pertama aku melihat wajahnya. Tapi nggak tahu kenapa malah melupakan namanya. Segala kenangan tentangnya muncul, kecuali.... namanya.

Dia sengaja berdiri di tempatnya tanpa ada tanda-tanda akan segera beranjak, jadi biar sopan aku samperin. Kami ngobrol di pinggir jalan, di depan sebuah toko baju, sementara aku sadar ia sednag ditunggu seseorang yang mengamatinya dari jauh.

“Precill, kamu tinggal di Surabaya ya sekarang?”

Aku mengangguk.

“Kamu kerja di BCA ya sekarang?” dheg. Hatiku tergelitik. Dia tahu. Aku agak terkejut dia nggak nanya aku kuliah dimana sekarang, tapi langsung tahu dimana tempatku bekerja. Iya kalo aku anak keren yang orang-orang patut tahu tentang aku dan ngomongin aku, aku nggak akan terkejut. Dan seorang dia, tahu. Mau nggak mau aku ngerasa.... senang?

Beberapa menit nggak sengaja malam itu, aku bahkan sadar kalau mungkin itu adalah obrolan kami yang terpanjang. Sama sekali aku nggak ngerasa canggung bercerita, bertanya, dan aku sadar... aku berubah.

Ternyata, sampai kini ia masih menjadi bagian dalam 'manual book of love'-nya Precill. Bukan karena aku masih menyukainya. Bukan. Aku hanya teringat akan diriku yang dulu, dan ia masih membuatku belajar.


Dia ingat aku. Dia tahu aku. Aku nggak pernah diacuhkan, tapi aku yang membuat diriku sendiri merasa diacuhkan. Dan, bukannya itu penyakit khas cewek-cewek ABG? Lucu aku baru menyadarinya ketika aku sudah bukan lagi ABG karena sekarang usiaku sudah menginjak kepala dua.

Jika dulu kamu berani, apa yang akan terjadi? You've got nothing if you do nothing. Dan mungkin suatu kesempatan, momen, atau seseorang, hanya akan menjadi kenangan tanpa kategori sukses atau gagal ketika kamu menolak melakukan sesuatu.

Seperti diriku, yang akhirnya menulis tulisan ini.


Surabaya, 3 Agustus 2016

Komentar

Postingan Populer